Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PPP Terancam Gagal ke Senayan, Nyebrang ke Prabowo-Gibran?

Di tengah harapan lolos parliamentary threshold, muncul isu PPP menyeberang ke Prabowo-Gibran
PPP, Partai Persatuan Pembangunan
PPP, Partai Persatuan Pembangunan

Bisnis.com, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan atau PPP terancam gagal ke Senayan. Perolehan suara berlambang ka'bah itu mepet berada di baseline untuk lolos parliamentary threshold

Data KPU pada Rabu (28/2/2024) pukul 05.00 WIB, suara masuk sebanyak 65,26%, PPP hanya memperoleh sebanyak 3.026.026 suara atau 4%. Posisi PPP terus dikuntit Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang angkanya perlahan naik, saat ini telah mencapai 2,79%.

PPP merupakan partai yang memiliki sejarah. Partai ini merupakan partai tertua. Namun karena konflik di lingkaran elitenya, suara PPP tidak pernah solid dan sering kali memicu perbedaan orientasi antara akar rumput dan pejabat struktural partai.

Pada Pilpres 2024, banyak sempalan dari organ-organ PPP yang mendukung pasangan selain Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Padahal Ganjar-Mahfud secara resmi didukung oleh PPP.

Menariknya, di tengah ancaman tidak lolos parliamentary threshold dan pasang surut hak angket yang didorong oleh kubu Ganjar Pranowo, PPP justru dikabarkan akan menyeberang ke Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Ketua Bappilu PPP, Sandiaga Uno, bahkan mulai menyinggung tentang pentingnya ukhuwah islamiyah. Ia bahkan berujar bahwa PPP sebagai partai senantiasa istikhamah menjadi partai pemerintah.  

Adapun sejak reformasi bergulir, PPP memang jarang berdiri sebagai oposisi. PPP selalu menjadi partai pendukung pemerintah, terutama ketika zaman SBY hingga zaman Jokowi seperti saat ini. Gen oposisi PPP hanya berlangsung ketika zaman Orde Baru, itupun stand point-nya, tidak setegas PDI yang kemudian berubah menjadi PDIP.

Sejarah Elektoral

PPP merupakan fusi dari berbagai macam ideologi politik maupun partai politik yang berlandaskan Islam. Fusi ini terjadi seiring dengan penerapan 'politik massa mengambang' yang dijalankan oleh Ali Moertopo, saat rezim Orde Baru sedang mengonsolidasikan kekuasan pada 1970-an silam.

Kendati demikian, fusi partai Islam itu tidak serta merta menjadikan PPP sebagai pemenang Pemilu. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar.

Pada pemilu 1977, misalnya, PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.

Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.

Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.

Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi. 

PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voter dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi. 

Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.

Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 kursi karena mendapat sokongan militer dan penguasa. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 di DPR akibat represi Orde Baru.

Pada awal reformasi dengan sistem multi partai, nasib PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999, mereka mendapat kursi sebanyak 58, Pemilu 2004 58 suara, Pemilu 2009 turun menjadi 38 suara, tahun 2014 39 kursi.

Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 29 kursi atau turun 20 kursi. Pemicunya tentu karena kisruh dan konflik internal. Pemilu 2024 jelas merupakan tantangan lain bagi PPP karena perolehan suara sementara mereka mepet di angka 4%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper