Bisnis.com, JAKARTA -- Para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) mulai turun gunung. Mereka dengan lantang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap telah keluar dari jalur demokrasi.
Para akademisi, mayoritas guru besar UGM, itu merasa tergerak untuk mengingatkan Jokowi. Mereka menyinggung skandal Mahkamah Konstitusi (MK) hingga aksi cawa-cawe Jokowi yang keblabasan. Kegelisahan inilah yang kemudian mengilhami munculnya, Petisi Bulaksumur.
Bulaksumur adalah lokasi kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Kampus negeri yang berdiri di atas lahan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 19 Desember 1949. Kampus itu mencetak banyak alumni yang menjadi tokoh di bidang politik dan pemerintahan hingga ekonomi di Tanah Air. Jokowi adalah salah satunya.
Selain itu, dua pasang capres-cawapres yang akan bertarung dalam konstestasi Pilpres 2024 yakni Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD juga merupakan lulusan UGM.
Adapun Jokowi adalah lulusan Fakultas Ilmu Kehutanan 1980. Dia lulus pada 1985 dan melanjutkan kariernya dari dunia swasta hingga politik nasional. Dari Bulaksumur, Jokowi meluncur ke kursi kepemimpinan nasional pada 2014 dengan citra "wong cilik".
Namun, akhir-akhir ini presiden dari Solo itu justru menuai berbagai kontroversi jelang Pemilu 2024. Hal itu memicu berbagai kritik tajam kepada Presiden yang disebut-sebut memiliki approval rating-nya sundul langit alias di atas 80% . Kritik tajam itu muncul salah satunya berasal dari Lembah Bulaksumur.
Baca Juga
Para akademisi gundah gulana. Mereka merasa perlu bersuara dan tergerak untuk melancarkan petisi guna mengetuk hati Jokowi yang kini sibuk membagikan bansos ke sana ke mari.
Para akademisi telah sepakat bahwa penyimpangan harus segera diakhiri.
"Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial," demikian kutipan salinan petisi yang diterima Bisnis, Rabu (31/1/2024).
Jokowi sebagai bagian dari keluarga besar Bulaksumur semestinya berpegang teguh kepada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah.
"Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada: bagi kami almamater kuberjanji setia, kupenuhi dharma bhakti untuk ibu pertiwi, dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku, kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara," lanjut petisi tersebut, merujuk pada Himne Gadjah Mada.
Para pengajar senior UGM itu kemudian mendesak supaya Jokowi beserta pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakangnya untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Desakan juga ditujukan pada DPR dan MPR RI untuk mengambil sikap dan langkah konkret terkait Pemilu 2024 agar berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Penguasa Kami Lapar!
Aksi para guru besar UGM itu kemudian ditutup dengan pembacaan puisi. Salah satu puisi dibacakan oleh Guru Besar Kebijakan Publik UGM, Wahyudi Kumorotomo. Ini bukan pertama kalinya Wahyudi membacakan puisi untuk mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu.
Puisi terakhir yang ditulis Wahyudi yakni pada 2019 berjudul "Mas Joko, Kami Mengandalkanmu". Puisi itu ditulis berkaitan dengan momentum pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga antirasuah produk pascareformasi yang dipreteli ketika Jokowi masuk periode kedua kepemimpinannya.
Wahyudi pun kembali menulis puisi kedua untuk "kawannya" itu sekitar lima tahun setelah puisi pertama. Wahyudi merasa, Jokowi tidak tergerak dengan ungkapan halus di puisinya yang pertama. Kini di dalam bait-bait puisinya yang kedua berjudul "Wahai Penguasa Kami Lapar", Wahyudi menyampaikan kritik dengan bahasa yang lebih terbuka.
Puisi tersebut menyinggung gegap gempita Pemilu 2024 yang dinilai hanya dinikmati segelintir kalangan saja. Kontestasi politik yang acapkali disebut pesta demokrasi itu pun dinilai tak memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat.
"Senyum manis di setiap sudut kota tidak bermakna bagi perutku. Ribuan gambar yang terpampang di jalan-jalan, pohon-pohon, tiang-tiang tidak bermakna bagi jiwaku. Aku lapar karena kehilangan mata pencaharianku. Aku lapar karena pagebluk yang membelenggu baru saja berlalu," demikian penggalan puisi yang dibacakan Wahyudi.
Pengajar di Fisipol UGM itu lalu menyinggung ketamakan penguasa dan pemodal yang melakukan eksploitasi sumber daya alam (SDA) mulai dari nikel hingga batu bara.
Dalam puisinya itu, Wahyudi meminta agar para penguasa agar tidak lapar dengan harta dan kekuasaan. Dia meminta agar para penguasa kembali tulus dan memenuhi janji-janjinya untuk memberantas korupsi, meniciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin keadilan bagi semua.
Beras bantuan, kata Wahyudi, terasa pahit di tenggorokanku. "Bansos terasa asam di lidahku. Kami tetap lapar dan dahaga. Wahai penguasa kami menunggu kehadiranmu dan kami lapar. Bagi orang-orang lapar tidak ada kata-kata lain kecuali: lawan!."