Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kaleidoskop 2023: Problematika MK di Tengah Hajat Politik

MK banyak disorot sepanjang 2023. Menjelang akhir tahun, pembahasan mengenai MK masih belum surut karena disinggung juga dalam debat Pilpres 2024.
Hakim Konstitusi Suhartoyo memimpin jalannya sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/11/2023). Sidang beragendakan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun, dengan pemohon atas nama Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Hakim Konstitusi Suhartoyo memimpin jalannya sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/11/2023). Sidang beragendakan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun, dengan pemohon atas nama Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) banyak menjadi sorotan masyarakat sepanjang 2023. Menjelang akhir tahun, pembahasan mengenai MK masih belum surut karena disinggung juga dalam debat perdana Pilpres 2024, Selasa (12/12/2023) malam.

Mulanya, calon presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo bertanya ke capres nomor urut 2 Prabowo Subianto perihal putusan MK yang dianggap kontroversial dan memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

Dirinya menyinggung perihal putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 itu usai Prabowo mengatakan akan berkomitmen untuk memperkuat hukum dan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

“Dalam kontes kekinian saya terpaksa harus bertanya, terpaksa sekali harus bertanya, apa komentar Pak Prabowo terhadap putusan MK yang melahirkan MKMK [Majelis Kehormatan MK] itu. Itu saja,” kata capres Ganjar Pranowo.

Pendukung masing-masing capres lantas terdengar riuh mendengarkan tanggapan Ganjar tersebut. Tak mau ketinggalan, capres nomor urut 1 Anies Baswedan turut menanyakan perasaan Prabowo soal putusan MK yang sarat pelanggaran etik.

"Prabowo daftar ke KPU setelah putusan MK lalu ada MKMK bilang keputusan itu ada pelanggaran etik. Apa perasaan Bapak [mengetahui] ada pelanggaran etika?" tanya Anies dalam sesi berbeda.

Menanggapi dua ‘serangan’ itu, Prabowo merespons bahwa aturan dari MK tersebut sudah jelas.

Dirinya mengklaim bahwa rakyat telah mengetahui proses pengambilan keputusan tersebut, dan menyerahkan sepenuhnya perihal pemimpin ke depannya kepada rakyat.

Putusan No.90/PUU-XXI/2023

Beberapa waktu ke belakang, kontroversi perihal MK berpangkal pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023 silam. MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaqibbirru.

Dalam ketetapan perkara tersebut, MK memutuskan bahwa pasal yang mengatur batas minimal usia capres-cawapres adalah 40 tahun itu inkonstitusional bersyarat, dengan memberikan klausul pengecualian sepanjang capres atau cawapres telah menjabat sebagai penyelenggara negara.

Artinya, warga negara yang berada di bawah 40 tahun bisa maju sebagai capres dan cawapres selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.

Putusan ini disahkan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman. Dirinya merupakan ipar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), sekaligus paman dari Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Usai putusan tersebut, Gibran memang melenggang sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

Dia diusung oleh capres Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto, yang mengatakan keputusan itu hasil dari persamuhan bersama dengan delapan partai pengusung yang tergabung dalam KIM.

Selain itu, MK menerima banyak laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. MK akhirnya membentuk MKMK sebagai bagian dari kelembagaan untuk kemudian memeriksa dan mengadili jika terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran hakim konstitusi.

Sosok Jimly Asshiddiqie dan Bintan Saragih ditunjuk sebagai anggota MKMK, bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ini sesuai dengan ketentuan pasal 27A Undang-undang MK bahwa keanggotaan itu yaitu dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan hakim aktif.

Dalam jangka waktu sebulan, yakni 24 Oktober 2023 sampai dengan 24 November 2023, MKMK dituntut memproses perkara tersebut hingga tuntas. Berdasarkan catatan Bisnis, terdapat total 21 laporan yang diproses MKMK.

Seluruh hakim MK yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, Suhartoyo, Daniel Yusmic, M. Guntur Hamzah, serta Wahiduddin Adams menjadi pihak yang dilaporkan. Anwar Usman diperkarakan dalam 15 kasus, baik dilaporkan secara tunggal maupun bersama nama hakim lainnya. Sementara itu, nama Saldi Isra dan Arief Hidayat juga dilaporkan buntut dari dissenting opinion yang dianggap membocorkan hasil rapat permusyawaratan hakim (RPH) kepada publik.

MKMK akhirnya memeriksa seluruh pelapor, panitera MK, dan masing-masing hakim konstitusi sejak Selasa (31/10/2023) hingga Jumat (3/11/2023). Dalam pembacaan putusan pada Selasa (7/11/2023), MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian sebagai Ketua MK terhadap Anwar Usman, karena terbukti melanggar kode etik ketika memutus perkara yang berkaitan dengan keluarganya.

Namun demikian, putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres tetap sah. Jimly menyebut bahwa MKMK tidak berwenang menilai putusan MK. Pasal tentang 17 ayat 6 dan 7 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku dalam putusan pengujian undang-undang.

Revisi UU MK

Problematika berikutnya muncul dalam wacana revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana mengesahkan pembahasan revisi keempat UU MK pada awal Desember lalu.

Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menjelaskan, ada empat poin materi perubahan dalam revisi UU MK yang diusulkan oleh DPR.

Pertama, terkait aturan peralihan masa jabatan hakim MK.

Kedua, syarat batas usia minimal hakim konstitusi dari semula 40 tahun menjadi 50 tahun. Ketiga, evaluasi hakim konstitusi yang bisa dilaksanakan oleh masing-masing lembaga pengusul yaitu presiden, Mahkamah Agung, dan DPR RI.

"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear," ujar Pacul, Kamis (16/2/2023).

Keempat, revisi mengenai keanggotaan Majelis Kehormatan yang diisi oleh hakim aktif MK. DPR ingin agar setiap anggota Majelis Kehormatan MK dapat bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan masing-masing.

Namun, selisih paham terjadi antara DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud MD terkait pengesahan revisi itu. DPR merasa sudah berhak mengesahkan revisi UU MK, yang mana Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad berpendapat bahwa pemerintah melalui Kemenkumham dan 9 fraksi DPR sudah menyetujui draf revisi UU MK dalam rapat konsinyering pada Minggu (3/12/2023).

Di sisi lain, Mahfud menyatakan pemerintah masih keberatan dengan sejumlah isi revisi UU MK, salah satu poin keberatannya terkait aturan peralihan masa jabatan hakim konstitusi.

Mahfud menyatakan seharusnya aturan peralihan masa jabatan tidak merugikan pihak yang terdampak aturan itu, karena usulan beleid baru dari DPR dianggap malah merugikan sejumlah hakim konstitusi yang masih menjabat.

Dijelaskan, dalam Pasal 87 huruf a draf revisi UU MK yang disepakati DPR mengatur bahwa hakim konstitusi yang sudah menjabat 5-10 tahun baru melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun apabila disetujui lembaga pengusul.

Dalam hal ini, ada tiga hakim konstitusi yang akan terdampak aturan yang diusulkan oleh DPR itu yaitu Saldi Isra, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih. Ketiganya sudah menjabat lebih dari 5 tahun, tetapi belum mencapai 10 tahun.

Oleh sebab itu, jika ingin melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun harus melalui persetujuan lembaga pengusul lagi.

Saldi dan Enny merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh presiden, sementara Suhartoyo diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Pada akhirnya, DPR memutuskan menunda pengesahan beleid itu dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa (5/12/2023). Perlu digarisbawahi, DPR hanya memutuskan untuk menunda pengesahan, bukan membatalkan pengesahan.

Terkait itu, sejumlah pihak menduga ada upaya politisasi MK terkait revisi UU ini, utamanya menjelang gugatan hasil Pemilu 2024.

Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengkritisi keinginan DPR untuk menaikkan syarat minimal umur dan evaluasi hakim konstitusi.

“Mengapa syarat umur dinaikkan, atau masa jabatan hakim MK kembali dievaluasi? Karena semua yang ingin menang-curang sudah tahu dan berhitung, jika terjadi sengketa hasil suara, maka ujung penentu kemenangan pilpres ada di MK,” ujar Denny dalam keterangannya, dikutip Selasa (5/12/2023).

Dia menilai ada upaya serius untuk mendepak hakim yang tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu. Oleh sebab itu, Denny menyarankan perubahan syarat minimal umur ataupun masa jabatan hakim konstitusi sebaiknya tidak dilakukan pada masa-masa menjelang pilpres.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper