Bisnis.com, JAKARTA - Korupsi merupakan istilah yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hampir setiap tahun, ada saja kasus korupsi yang terungkap. Lantas apa sebanarnya korupsi itu? Berikut pengertian, contoh hingga dampaknya.
Pengertian Korupsi
Kata "korupsi" berasal dari beragam makna dalam bahasa Latin, yakni "corruptio" atau "corruptus." Istilah ini mengandung arti tindakan merusak, kebusukan, keburukan, atau penyimpangan dari kesucian. Korupsi tidak hanya merujuk pada pencurian uang negara, melainkan juga melibatkan serangkaian tindakan yang tergolong tidak etis.
Menurut berbagai lembaga internasional dan definisi resmi seperti yang dijabarkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serta World Bank, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau posisi di sektor publik dan swasta untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Berbagai lembaga seperti Asian Development Bank (ADB), Transparency International, Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) memiliki definisi tersendiri tentang korupsi. Umumnya, korupsi didefinisikan sebagai perilaku melanggar hukum, melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara yang tidak semestinya.
Korupsi bukan hanya masalah hukum, melainkan juga dampaknya merambah ke dimensi sosial, politik, dan ekonomi. Praktik korupsi mengancam demokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan mengganggu stabilitas pemerintahan.
Bahkan menurut Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB, korupsi dapat memicu pelanggaran hak asasi manusia, merusak pasar, menurunkan kualitas hidup, serta mengakibatkan munculnya kejahatan terorganisir dan terorisme.
Baca Juga
Di Indonesia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 telah membagi korupsi menjadi tujuh jenis utama. Mulai dari kerugian keuangan negara hingga gratifikasi, korupsi merajalela di berbagai sektor, baik publik maupun swasta.
Penyebab Korupsi
Korupsi merupakan masalah serius yang terus menggerogoti berbagai sektor masyarakat. Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Muslim pada abad ke-14, menyimpulkan bahwa korupsi dipicu oleh nafsu hidup yang berlebihan, terutama dari pihak berkuasa yang ingin menikmati hidup mewah. Selanjutnya, Donald R Cressey, melalui teori Fraud Triangle-nya, menyoroti tiga faktor pemicu utama korupsi:
- Tekanan (Pressure): Motivasi ekonomi atau dorongan tertentu mendorong individu merasa tertekan secara finansial, meskipun sering kali hanya sebatas persepsi subjektif.
- Kesempatan (Opportunity): Lemahnya sistem pengawasan memberikan celah bagi pelaku korupsi untuk beraksi tanpa terdeteksi, menciptakan kesempatan untuk melakukan tindakan yang tidak etis.
- Rasionalisasi (Rationalization): Pelaku korupsi selalu memiliki pembenaran atau alasan tertentu untuk tindakan mereka, yang meminimalisir rasa bersalah dan memberi legitimasi pada perilaku mereka.
Ciri-ciri Korupsi yang Patut Diperhatikan di Sekitar Lingkungan Sehari-hari
- Pembengkakan Anggaran: Mark up dalam dana proyek yang melebihi nilai sebenarnya. Hal ini terjadi di sektor infrastruktur, pembangunan, dan teknologi, menimbulkan penggunaan dana yang tidak sesuai.
- Penyalahgunaan Dana Desa: Anggaran dana desa yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat, namun dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh oknum tertentu.
- Promosi Jabatan Tidak Sesuai Kompetensi: Upaya mendapatkan promosi jabatan dengan cara yang tidak etis, seperti memberikan suap kepada atasan atau HRD, tanpa mempertimbangkan kompetensi sebenarnya.
- Pemberian "Uang Damai": Memberi suap kepada petugas atau pihak yang berwenang untuk menghindari sanksi, memicu sikap yang tidak taat pada aturan.
Dampak Korupsi di Berbagai Bidang
Korupsi merupakan penyakit sosial yang menyebabkan dampak yang merusak di berbagai aspek kehidupan. Dari bidang ekonomi, kesehatan, pembangunan, hingga pada aspek budaya, korupsi meninggalkan jejak yang mengganggu, merugikan, bahkan mengancam keberlangsungan masyarakat. Mari kita telusuri lebih jauh dampak yang ditimbulkan korupsi di setiap bidang ini.
1. Dampak Korupsi di Bidang Ekonomi
Korupsi menjadi pemicu lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Investor cenderung menghindari negara dengan tingkat korupsi tinggi karena ketidakpastian dan kerugian yang mungkin terjadi.
Faktor ini tercermin dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yang menjadi indikator tingkat kepercayaan investor terhadap suatu negara. Selain itu, korupsi meningkatkan biaya transaksi ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk. Suap dan pungli menambah biaya transaksi ekonomi, menyebabkan ketidak-efisienan dalam perekonomian dan melebarkan kesenjangan sosial.
Koruptor yang kaya akan semakin kaya sementara orang miskin semakin menderita karena kekurangan fasilitas dan layanan yang memadai.
2. Dampak Korupsi di Bidang Kesehatan
Korupsi di bidang kesehatan memiliki dampak fatal, terutama terasa di masa pandemi COVID-19. Penyalahgunaan anggaran dan proyek kesehatan oleh pejabat pemerintah membuat pelayanan kesehatan terganggu.
Masalah utama meliputi peralatan yang tidak memadai dan kekurangan obat-obatan yang mengancam nyawa masyarakat. Korupsi juga mengarah pada permasalahan kualitas peralatan medis yang kurang baik, menyebabkan ketidakpastian akan keampuhannya.
Dalam hal ini, ICW mencatat bahwa pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan merupakan sektor paling rawan terhadap praktik korupsi.
3. Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan
Sektor pembangunan dan infrastruktur juga terdampak parah oleh korupsi. Mark up yang tinggi dalam proyek infrastruktur menyebabkan kerugian besar pada uang negara. Dampaknya? Kualitas bangunan yang buruk dan tidak tahan lama, mengancam keselamatan publik.
Korupsi di sektor pembangunan terjadi pada tahap perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan. Pada tahap perencanaan, koruptor mencari celah dalam alokasi anggaran dan proses tender, sedangkan pada pelaksanaan, terjadi manipulasi data pekerjaan dan penggunaan dana yang tidak tepat.
4. Korupsi Meningkatkan Kemiskinan
Korupsi memberikan andil besar dalam meningkatnya tingkat kemiskinan dalam suatu negara. Dampaknya menciptakan kemiskinan absolut dan relatif. Pertumbuhan ekonomi yang terhambat karena korupsi memperlebar kesenjangan sosial antara orang kaya yang semakin kaya dengan orang miskin yang semakin terpuruk dalam kemelaratan.
Aliran uang yang salah arah membuat fasilitas publik seperti pendidikan dan kesehatan tidak mencukupi untuk masyarakat miskin. Kesulitan mereka untuk mendapatkan layanan publik yang layak semakin meningkat akibat birokrasi yang korup.
5. Dampak Korupsi Terhadap Budaya
Korupsi memiliki dampak besar terhadap budaya dan norma masyarakat. Saat korupsi menjadi kebiasaan, masyarakat mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Perilaku buruk ini merusak norma antikorupsi yang ada.
Penelitian menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki individu-individu yang lebih cenderung melakukan pelanggaran, seperti pelanggaran parkir atau menyogok. Ini menggambarkan bahwa korupsi telah memengaruhi budaya dan perilaku masyarakat.
Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi melalui berbagai landasan hukum yang menjadi pedoman dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Beberapa landasan hukum dan instrumen yang relevan meliputi:
1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Diterbitkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Undang-Undang ini mengatur tentang pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda maksimal Rp 30 juta untuk delik-delik yang terkait dengan korupsi. Walaupun UU tersebut menjabarkan definisi korupsi secara jelas, namun korupsi masih marak terjadi, mendorong munculnya undang-undang antikorupsi yang lebih mutakhir.
2. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru dan masuknya era Reformasi, TAP MPR ini muncul sebagai landasan untuk menyokong pemberantasan korupsi. Hal ini juga memicu pembentukan badan-badan negara seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Ombudsman Nasional untuk menopang upaya pemberantasan korupsi.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
Bentuk komitmen pemberantasan korupsi pasca Orde Baru diwujudkan melalui UU ini yang memberikan definisi yang jelas tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai tindakan tercela dalam penyelenggaraan negara. Pembentukan lembaga independen seperti Komisi Pemeriksa dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga diatur dalam UU ini.
4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Merupakan landasan hukum utama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. UU ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum yang merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi dan bentuk korupsi diatur secara rinci dalam UU ini.
5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan ini mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi dengan memberikan laporan atau informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat yang turut berkontribusi dalam pencegahan korupsi juga berhak mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
6. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Merupakan landasan hukum lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibentuk dengan tujuan meningkatkan efektivitas dalam pemberantasan korupsi, KPK beroperasi secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Uang hasil korupsi sering dicuci agar tidak terdeteksi. UU ini memberikan landasan bagi penanganan perkara dan pelaporan pencucian uang, serta membentuk lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mencegah pencucian uang hasil korupsi.
8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)
Merupakan arahan kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia.
9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan pemberlakuan Perpres ini, KPK diberi wewenang untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi seperti Kepolisian dan Kejaksaan, serta mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani oleh instansi tersebut.
10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi di setiap jenjang dan bentuk kegiatan sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi, sejalan dengan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
Sementara itu, untuk memberantas korupsi, KPK Indonesia menekankan tiga strategi utama dalam Trisula Pemberantasan Korupsi:
Sula Penindakan: Mengacu pada proses hukum terhadap pelaku korupsi, membawa mereka ke pengadilan, dan menuntut pertanggungjawaban hukum dengan bukti yang kuat.
Sula Pencegahan: Mengutamakan perbaikan sistem dan tata kelola untuk mencegah terjadinya korupsi, seperti transparansi dalam pelayanan publik dan koordinasi yang lebih baik dalam pengawasan.
Sula Pendidikan: Menyadarkan masyarakat akan bahaya korupsi melalui kampanye dan edukasi agar memiliki pemahaman yang sama tentang korupsi serta bersama-sama melawannya.
Contoh Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia
Tren penindakan korupsi di Indonesia, seperti yang terungkap dalam Laporan Tren Penindakan Korupsi 2022 oleh Indonesia Corruption Watch, menyoroti adanya kerugian negara senilai Rp42,747 triliun.
Informasi tersebut berasal dari pemantauan kasus korupsi yang mencakup periode 1 Januari hingga 31 Desember 2022, baik kasus yang sudah memiliki putusan maupun yang masih dalam proses hukum. Analisis data diperoleh dari kasus-kasus yang ditangani oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
1. Penyerobotan Lahan Negara untuk Kelapa Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau
Kasus terbesar terjadi dalam sektor kehutanan, di mana terdapat penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Grup Duta Palma diketahui menggarap lahan tersebut tanpa izin selama 2003-2022. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp104,1 triliun, terdiri dari kerugian keuangan negara senilai Rp4,9 triliun dan kerugian perekonomian negara sebanyak Rp99,2 triliun.
2. Pengolahan Kondensat Ilegal di Kilang Minyak Tuban, Jawa Timur
Kasus ini melibatkan penjualan minyak mentah (kondensat) bagian negara secara langsung dari 23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai US$ 2,7 miliar atau setara Rp35 triliun. Mantan pejabat BP Migas dan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) terlibat dalam kasus ini.
3. Pengelolaan Dana Pensiun di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri)
Terjadi penyimpangan dana investasi PT Asabri yang merugikan negara sebesar Rp22,78 triliun. Kerugian tersebut berasal dari pengelolaan keuangan dan dana investasi yang tidak sesuai ketentuan antara 2012 hingga 2019. Sejumlah tokoh terlibat, termasuk kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro serta sejumlah pejabat PT Asabri.
4. Kasus Korupsi Jiwasraya
Salah satu kasus korupsi terbesar mengemuka melalui Jiwasraya yang diduga terlibat dalam manipulasi laporan keuangan selama lebih dari satu dekade yang lalu.
Pada tahun 2006, laporan keuangan Jiwasraya menunjukkan adanya nilai ekuitas negatif mencapai Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki secara signifikan lebih kecil daripada kewajiban yang dimiliki.
BPK mengalami kesulitan dalam memverifikasi kebenaran di balik laporan keuangan yang telah disampaikan oleh Jiwasraya. Pada tahun 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS sementara BPK melakukan audit.
Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan bukti penyalahgunaan wewenang oleh JS dengan laporan aset investasi keuangan yang terlalu diunggulkan dan kewajiban yang direndahkan.
Selang tiga tahun berikutnya, JS melangsungkan pergantian direksi.
Pada saat pergantian tersebut, direksi baru mencatat adanya ketidakwajaran dalam laporan keuangan yang kemudian dilaporkan kepada Kementerian BUMN.
Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS pada tahun 2017 mengungkap adanya koreksi signifikan, di mana laporan keuangan interim yang sebelumnya mencatatkan laba sebesar Rp2,4 triliun direvisi menjadi Rp428 miliar.
5. Kasus Korupsi Bank Century
Kasus korupsi yang melibatkan Bank Century mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah fantastis mencapai Rp7 triliun, sebagaimana diungkap dalam Laporan Hasil Perhitungan (LHP).
Bank ini telah menjadi subjek pengawasan khusus oleh Bank Indonesia setelah menerima Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) senilai Rp1 triliun.
Tidak berapa lama kemudian, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani mendeteksi potensi masalah, dan hasilnya menyatakan bahwa Bank Century mengakibatkan kerugian negara hingga mencapai angka Rp6,742 triliun.
6. Kasus Korupsi e-KTP
Kasus korupsi e-KTP adalah salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kasus ini bermula dari proses lelang tender proyek e-KTP yang diduga sarat dengan korupsi. Kejanggalan-kejanggalan mulai dari spesifikasi proyek yang tidak sesuai kebutuhan, hingga pemenang tender yang diduga tidak memenuhi syarat.
Kasus ini semakin merebak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sejumlah tersangka, termasuk mantan Menteri Dalam Negeri Irjen Pol (Purn) Ilham Habibie, mantan Direktur Utama Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Budi Mulya, dan mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Dari hasil penyelidikan KPK, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp2,3 triliun. Angka tersebut merupakan salah satu kerugian negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kasus korupsi e-KTP telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat Indonesia. Selain menimbulkan kerugian negara yang besar, kasus ini juga telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Proses hukum kasus korupsi e-KTP masih terus berjalan hingga saat ini. Namun, hingga kini belum ada satu pun terdakwa yang divonis hukuman mati, sesuai dengan tuntutan KPK.
7. Korupsi Proyek Hambalang
Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang awalnya dirancang sebagai pusat pembibitan atlet usia dini dan remaja. Namun, tujuan proyek ini kemudian diubah menjadi pusat pelatihan atlet elite untuk berlaga di kompetisi dunia.
Perubahan tujuan proyek ini membuat anggarannya membengkak dari Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun. KPK kemudian menyelidiki proyek ini dan menemukan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan, termasuk korupsi dan mark-up harga.
BPK juga melakukan audit terhadap proyek ini dan menemukan bahwa kerugian negara akibat korupsi proyek Hambalang mencapai Rp706 miliar.
Proyek Hambalang mangkrak pada tahun 2012 dan menyeret sejumlah nama besar ke pengadilan, termasuk mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh.
Anas Urbaningrum divonis 8 tahun penjara, Nazaruddin 14 tahun penjara, Mallarangeng 4 tahun penjara, dan Angelina Sondakh 12 tahun penjara.
Kasus korupsi proyek Hambalang merupakan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia. Kasus ini telah menimbulkan kerugian negara yang besar dan mencoreng nama baik bangsa Indonesia.