Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat dan konsultan politik Eep Saefullah Fatah menilai bahwa saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah dalam ancaman pemakzulan yang terpicu oleh empat faktor.
Salah satunya, akibat dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk berlaga di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Pendiri dan CEO PolMark Indonesia (Political Marketing Consulting) itu pun menilai bahwa putusan yang disinyalir memberi lampu hijau bagi anak muda untuk berkontestasi di politik, justru meredam demokrasi di Tanah Air.
Eep pun menjelaskan kondisi tersebut dengan mengilustrasikan sebagai seorang penumpang dari sebuah kapal yang bernama Demokrasi Indonesia yang dinilainya terlihat akan karam.
“Indonesia yang akan karam itu. Saya adalah penumpangnya. Saya bukan penonton di pantai yang akan menonton Indonesia tenggelam,” katanya dalam youtube Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Kamis (26/10/2023).
Lebih lanjut dia meyakini bahwa semua orang di Indonesia memiliki keresahan yang sama. Dia memerinci terdapat empat faktor yang meningkatkan potensi pemakzulan Jokowi.
Baca Juga
Pertama, terbukti ada skandal yang terverifikasi secara hukum dan politik yang menyangkut langsung pada orang nomor satu di Indonesia itu. Menurutnya, Jokowi harus berhati-hati dengan persoalan di MK hingga pengusungan putra sulungnya sebagai cawapres Prabowo Subianto.
“Pokoknya sekarang presiden menggunakan kekuasaannya dengan menciptakan situasi yang sekarang dengan ditandai nepotisme yang sangat akut,” ujarnya.
Kedua, dia menilai ada kegagalan kebijakan yang dirasakan secara nyata. Sayangnya, kata Eep, keterbukaan ini justru tertutup oleh survei yang memberikan kepalsuan bagi publik melalui kepuasan kepada pemerintah di atas 70 persen.
Ketiga, adalah resistensi parlemen yang melembaga dan kuat, sampai kemudian meluas dan tersokong oleh resistensi oposisi dan lain gerakan di luarnya.
"Sehingga benar bahwa presiden mengendalikan partai begitu rupa, dengan cara memberikan kedudukan di pemerintahannya. Dengan itu kemudian Presiden bisa menjadi ketua pembina partai. Ditambah lagi dengan peristiwa Jokowi membentuk kabinet pertama dan kedua,” katanya.
Dia menyebut bahwa kabinet pertama, calon menteri harus dinilai dulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga terkesan mencitrakan bahwa pasukan Jokowi di awal kepemimpinannya sangat menimbang bersihnya calon-calon menteri yang akan dipilih.
“Namun, apa yang terjadi di kabinet kedua, saya lihat kecenderungan presiden adalah senang menginjak kaki seseorang untuk mengendalikan orang itu secara politik,” katanya.
Keempat, ujar Eep saat ini keresahan pubklik kian meluas. Meskipun banyak anggapan belum terlihat meluas, tetapi dia melanjutkan bahwa saat ini kemarahan publik banyak terpendam.
Bahkan, menurutnya, saat ini Jokowi tengah berada dalam waktu di ujung tanduk dalam menunjukkan gaya kepememimpinannya.
“Karena berbahaya. Salah langkah, bisa berbahaya,” pungkas Eep.