Bisnis.com, JAKARTA - Rosan Roeslani telah melepas jabatannya sebagai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk fokus menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Roslan ditunjuk langsung oleh calon presiden (capres) Prabowo Subianto untuk menjadi ketua tim pemenangan dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024.
"Ketua TIM Kampanye Nasional KIM, Rosan Roeslani," ujar Prabowo, Rabu (25/10/2024).
Sementara itu, Prabowo Subianto yang maju sebagai capres hingga saat ini masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Indonesia Maju.
Tidak hanya Prabowo, kontestan yang juga masih tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju yaitu adalah Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Mahfud telah mendaftarkan diri untuk menjadi cawapres bersama dengan Ganjar Pranowo dalam Pilpres 2024.
Maju bersama Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka juga masih menduduki jabatan pemerintahan. Putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu masih menjabat sebagai Walikota Solo.
Baca Juga
Peneliti Indikator Politik Indonesia Kennedy Muslim menilai meski dari sisi legal formal sudah tidak ada aturan dan pasal yang mengharuskan capres dan cawapres untuk mundur dari jabatannya setelah secara resmi didaftarkan sebagai kontestan pemilihan presiden, tapi dari sisi etika politik dan asas kepatutan dalam sistem demokrasi yang sudah disepakati bersama sejak era reformasi.
"Potensi abuse of power dan penggunaan fasilitas negara untuk berkampanye oleh pejabat aktif haruslah diminimalisir untuk menciptakan iklim kompetisi elektoral yang fair dan sehat," katanya kepada Bisnis, Senin (25/10/2023).
Adapun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membantalkan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yakni aturan pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta, Pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya dalam permohonan yang diajukan oleh Partai Garuda.
Dalam pertimbangan MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada tahun lalu, Mahkamah menilai perspektif warga negara yang mengemban jabatan tertentu, pada dirinya melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan.
Oleh karena itu, sambungnya, terlepas dari pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusional dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
"Menurut Mahkamah juga dapat menciderai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminasi sebagaimana yang dijamin dan dilindungi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sehubungan dengan frasa ‘pejabat negara’ pada Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yang didalilkan Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangannya terhadap syarat pengunduran diri pejabat negara, termasuk menteri tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Oleh karenanya, ketentuan pasal a quo harus dimaknai secara bersyarat," ucapnya.
Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki alasan berbeda dengan dikabulkan sebagian permohonan tersebut. Menurutnya, bahwa dalam pemerintahan dengan sistem presidensial pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan otoritas konstitusional presiden.
Oleh karenanya, dalam pemerintahan presidensial dikenal praktik presiden memilih menteri dan menteri bertanggung jawab pada presiden. Jika hal ini ditempatkan pada sistem di Indonesia, maka otoritas presiden dalam mengisi kabinet sangat besar. Secara tekstual, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 memposisikan menteri sebagai pembantu presiden, sehingga presiden tidak memerlukan persetujuan dari lembaga perwakilan.
Saldi berpandangan larangan untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden baru diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Permintaan izin pada presiden dalam rangka menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan. Terhadap penjelasan larangan dan pembatasan ini bahwa pemilu presiden dan wakil presiden menjadi suatu upaya untuk menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
“Dalam hal pengunduran diri para pejabat tersebut, termasuk menteri semata-mata dilakukan untuk kelancaran pemerintahan dan terwujudkan etika politik ketatanegaraan. Sebab, tanpa dilakukan pembatasan terhadap menteri yang ingin maju pada kontestasi politik demikian akan menimbulkan dilematis dan berpotensi merusak bangunan sistem pemerintahan presidensial,” jelas Saldi.
Mengacu hal itu, Saldi melihat anomali sedang menghinggapi praktik sistem presidensial di Indonesia kondisi ini akan semakin sulit dipahami jika anggota kabinet mengalahkan presiden incumbent.
Hal yang akan terjadi dalam masa lame duck ini, calon presiden yang merupakan anggota kabinet berhasil memenangkan kontestasi pemilihan, sedangkan presiden incumbent masih melanjutkan sisa masa jabatan hingga selesai masa jabatannya.
Untuk menghindari hal ini Saldi berpendapat jika tidak ada pembatasan maka dapat saja dua atau lebih menteri yang diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga sangat mungkin terjadi rivalitas antarkementerian yang terjebak dalam memberikan dukungan terhadap satu dengan yang lainnya.
Untuk itu, perlu dicarikan titik kesetimbangan baru antara normalitas penyelenggaraan sistem presidensial agar tidak terjebak dengan dalil hak konstitusional warga negara untuk dipilih termasuk sebagai presiden dan wakil presiden.
“Kesetimbangan baru ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pada Menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sepanjang pengusulan menteri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari presiden dan non-aktif atau cuti sebagai menteri terhitung sejak ditetapkan sebagai calon sampai selesainya tahapan pemilu presiden dan wakil presiden,” jelas Saldi.