Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPR: Kewajiban Tanda Tangan Elektronik Jangan Bebani Masyarakat

Komisi I DPR berharap kewajiban penggunaan tanda tangan elektronik dalam revisi UU ITE tidak membebani masyarakat.
Suasana gedung DPR/MPR RI jelang Sidang MPR Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (16/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha
Suasana gedung DPR/MPR RI jelang Sidang MPR Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (16/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi I DPR menilai kewajiban penggunaan tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi dalam transaksi tertentu yang dilakukan secara elektronik berisiko memberatkan masyarakat.

Adapun, klausul ini akan dimasukkan dalam revisi kedua Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tengah dibahas bersama DPR.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis menuturkan penggunaan TTE tersertifikasi membutuhkan biaya jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan maupun lembaga yang menjadi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia (PSrE).

DPR, lanjutnya, sepakat TTE harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan bisa dipertanggung jawabkan. Sebab, tidak bisa konsumen asal-asalan menerapkan tanda tangan digital tanpa bisa mempertanggungjawabkannya.

"Kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi jangan sampai memberatkan masyarakat," katanya dalam siaran pers, Selasa (3/10/2023).

Dia berharap kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi tidak dipukul rata untuk seluruh informasi maupun transaksi elektronik. Transaksi elektronik ratusan ribu rupiah tidak disamakan dengan transaksi perbankan, misalnya, kredit senilai Rp5 miliar.

Saat ini, berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 11/2009 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016, tidak ada klausul yang mewajibkan penggunaan TTE tersertifikasi. Bahkan, regulasi tersebut tak mengenal istilah TTE tersertifikasi.

Istilah TTE tersertifikasi baru muncul dalam aturan turunan UU ITE. Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012 yang telah dicabut maupun aturan penggantinya, PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, membagi TTE menjadi dua, yakni TTE tersertifikasi dan TTE tidak tersertifikasi.

Berdasarkan beleid tersebut, yang dimaksud TTE tersertifikasi adalah TTE yang menggunakan sertifikat elektronik yang dibuat oleh jasa PSrE. Sementara TTE tidak tersertifikasi dibuat tanpa menggunakan jasa PSrE.

Saat ini, setidaknya ada sembilan PSrE di Indonesia. Mereka antara lain PT Solusi Net Internusa, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), PT Indonesia Digital Identity, PT Djelas Tandatangan Bersama, PT Tilaka Nusa Teknologi, PT Digital Tandatangan Asli, Balai Sertifikasi Elektronik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan PT Solusi Identitas Global Net.

Biaya layanan penggunaan TTE tersertifikasi bervariasi, tergantung paket yang ditawarkan oleh masing-masing PSrE. Yang jelas, masyarakat sebagai konsumen mau tidak mau harus merogoh kocek lebih dalam jika kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi ini diberlakukan.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Rizki Aulia Rahman Natakusumah mengatakan, pada dasarnya Fraksi Partai Demokrat mendukung terciptanya regulasi transaksi elektronik yang aman dan nyaman. Namun, yang terpenting adalah terjangkau bagi seluruh masyarakat luas.

"Kami menilai bahwa pengaturan pengamanan harus diregulasi secara tepat dan jangan sampai terlalu membebani konsumen sehingga potensi inovasi bisa terganggu," jelas Rizki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper