Bisnis.com, JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan hal tersebut dalam Forum Diskusi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk Mewujudkan Pemilu Bersih pada Selasa (8/8/2023) di Surabaya Jawa Timur.
Dia memerinci 11 provinsi yang dana kampanye berisiko tertinggi mengalami pencucian uang.
Di urutan pertama, ada DKI Jakarta dengan rata-rata risiko sebesar 8,95, diikuti Jawa Timur sebesar 8,81, Jawa Barat sebesar 7,63, Jawa Tengah sebesar 6,51, Sulawesi Selatan sebesar 5,76, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebesar 5,67.
Selanjutnya, Sumatera Selatan sebesar 5,46, Papua sebesar 5,43, Bali sebesar 5,35, dan Bengkulu sebesar 5,04.
Menurut Ivan, semakin besar angkanya, maka rata-rata risiko dana kampanye uang sebagai sarana cuci uang juga semakin besar. Begitu juga sebaliknya.
Baca Juga
“Laporan ini memberikan makna bahwa adanya uang hasil tindak pidana yang masuk dalam kontestasi politik sebagai dana kampanye,” tegasnya.
Dikatakan, tindak pidana pencucian uang (TPPU) di DKI Jakarta mudah diketahui karena sistem sudah bagus.
Tapi, katanya, berbeda dengan provinsi lain karena sistemnya belum sebagus Jakarta. Jadi, melacak dana kampanye sebagai sarana pencucian uang masih cukup sulit.
Dikatakan, PPATK sedang berfokus untuk mendalami kejahatan TPPU tersebut karena tidak ada satu pun peserta pemilu yang bersih.
“Karena PPATK sekarang sedang fokus pada green financial crime, ini yang ramai. Lalu, apa yang terjadi? Kami menemukan sepertinya tidak ada rekening dari para peserta kontestasi politik yang tidak terpapar,” jelasnya.