Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami keterangan Direktur Utama Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau AirNav Indonesia Polana B. Pramesti, sebagai saksi dalam kasus korupsi pengadaan proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya (Persero).
KPK menyebut Polana hadir dalam pemeriksaan saksi di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta, Rabu (2/8/2023). Penyidik disebut mendalami pengetahuan Polana terkait dengan adanya dugaan aliran dana dari proyek fiktif Amarta Karya ke beberapa kegiatan bisnis perusahaan.
Keterangan yang sama juga didalami oleh penyidik KPK dari satu saksi lainnya yakni Building Manager Kawasan Taman Melati Margonda Ashadi Cahyadi.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain dugaan adanya aliran uang dari proyek fiktif PT AK [Amarta Karya] ke beberapa kegiatan bisnis perusahaan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (3/8/2023).
Kendati demikian, Ali tidak memerinci soal bentuk kegiatan bisnis perusahaan apa yang diduga menerima aliran uang dari proyek fiktif di Amarta Karya. Dia hanya mengatakan bahwa KPK bakal mendalami dugaan tersebut ke pihak lain juga ke depannya.
"Selanjutnya akan didalami dan dikonfirmasi lebih lanjut ke beberapa pihak," tuturnya.
Polana
Pihak AirNav pun memastikan bahwa kehadiran Polana kemarin sebagai bentuk dukungan penuh kepada proses hukum yang dilakukan KPK.
AirNav juga menyampaikan bahwa kasus subkontraktor fiktif yang kini tengah disidik KPK di Amarta Karya, tak ada hubungannya dengan BUMN yang bergerak di bidang navigasi penerbangan itu.
"Kasus subkontraktor fiktif di internal PT Amarta Karya yang terjadi pada tahun 2018, tidak ada kaitannya dengan AirNav Indonesia," tegas Sekretaris Perusahaan AirNav Indonesia Hermana Soegijantoro melalui keterangan pers, Kamis (3/8/2023).
Berdasarkan konstruksi perkaranya, KPK menduga mantan Direktur Utama Amarta Karya Catur Prabowo memerintahkan mantan Direktur Keuangannya Trisna Sutisna, untuk mempersiapkan sejumlah uang bagi kebutuhan pribadi.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, sumber uang diambil dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan oleh Amarta Karya.
Trisna kemudian bersama dengan beberapa staf di Amarta Karya mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari BUMN tersebut, namun tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya alias fiktif.
Pada 2018, beberapa badan usaha CV fiktif dibentuk sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek Amarta Karya. Hal tersebut diduga diketahui sepenuhnya oleh kedua tersangka.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, Catur selaku Dirut saat itu selalu memberikan disposisi “lanjutkan” dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani Trisna.
Lalu, guna memudahkan pengambilan dan pencairan uang untuk Catur, maka rekening bank, kartu ATM, dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang oleh staf bagian akuntansi kepercayaan kedua tersangka.
Lembaga antirasuah menduga ada sekitar 60 proyek pada Amarta Karya yang diborongkan secara fiktif oleh kedua tersangka yakni: pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur; pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta (UNJ); serta pembangunan laboratorium Bio Safety Level 3 Universitas Padjajaran (Unpad).
"Uang yang diterima tersangka CP [Catur Prabowo] dan tersangka [Trisan Sutisna] kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya," jelas Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada konferensi pers beberapa waktu lalu.
Akibat perbuatan kedua tersangka, KPK menduga adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar. Saat ini, tim penyidik masih terus menelusuri adanya penerimaan uang maupun aliran sejumlah uang ke berbagai pihak terkait lainnya.
Atas perbuatan tersebut, Catur dan Trisna disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.