Bisnis.com, JAKARTA -- Golkar memiliki sejarah panjang. Berawal dari ide Sukarno tentang perwakilan golongan, menjadi 'kepanjangan tangan' penguasa pada masa Soeharto, kini berubah sebagai salah satu partai politik terbesar pasca tumbangnya otoritarianisme Orde Baru.
Golkar adalah golongan atau partai politik yang mampu bertahan pada tiga rezim politik yang berbeda. Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi.
Perjalanan politik Golkar di tiga rezim politik ini selalu menarik disimak, terutama sepak terjangnya pada masa Orde Baru. Meski waktu itu bukan sebagai partai politik, Golkar dengan sokongan penguasa mampu menyediakan kendaraan politik selama lebih dari dua dasawarsa bagi Soeharto.
Soeharto adalah salah satu atau mungkin satu-satunya presiden yang berhasil diusung langsung oleh Golkar. Terakhir kali Golkar menunjuk Soeharto sebagai calon presiden untuk periode 1998-2003 pada pemilihan umum (pemilu) 1997 silam.
Pengumuman pencalonan presiden itu dibacakan langsung oleh Ketua Umum Golkar pada waktu itu, Harmoko. "Bahwa putra terbaik bangsa yang memenuhi kriteria untuk diajukan sebagai calon presiden mandataris MPR masa bakti 1998-2003 adalah Haji Muhammad Soeharto," ucap Harmoko dalam video yang banyak beredar.
Relasi antara Golkar dan Soeharto begitu kuat. Kalau menilik Sejarah, era Orde Baru adalah masa keemasan bagi Golkar. Perolehan suaranya melejit dan mendominasi politik Indonesia lebih dari seperempat abad.
Baca Juga
Kemunculan Golkar sendiri tidak lepas dari proses depolitisasi oleh pemerintah Orde Baru. Partai politik yang tadinya beragam disederhanakan menjadi tiga. Golongan Islam diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP), nasionalis Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan satu kelompok bernama Golongan Karya. Golkar bukanlah sebuah partai politik.
Kendati bukan parpol, Golkar selalu memenangkan pemilu selama pemerintahan Orde Baru berkuasa. Pada tahun Pemilu 1971, yang menjadi debut pertamanya dalam pesta demokrasi, Golkar mampu meraup suara 32,3 juta atau 62,8 persen. Golkar sukses mengalahkan NU, PNI dan Parmusi.
Golkar kembali memenangkan Pemilu 1977 dengan perolehan suara sebanyak 39,7 juta atau 62,1 persen. Unggul jauh dibandingkan dengan PPP yang hanya 29,9 persen dan PDI yang tercatat sebanyak 8,6 persen.
Pada dekade 1980-an, Golkar masih belum terkalahkan. Pada Pemilu 1982 suara golongan berlambang beringin tersebut justru naik cukup signifikan. Golkar mampu meraup 48,3 juta suara atau 64,3 persen. Partai lain seperti PPP dan PDI suaranya turun menjadi 27,7 persen dan 7,8 persen.
Golkar juga semakin tak terkejar pada Pemilu 1987. Pasalnya pada waktu mereka mampu memperoleh suara sebanyak 62,7 juta atau 73,1 persen suara. PPP suaranya tergerus parah hingga tersisa 15,97 persen. Sedangkan PDI memperoleh limpahan suara karena kemunculan Megawati Soekarnoputri. Suara PDI pada Pemilu 1987 mencapai 10,87 persen.
Sementara itu, dekade 1990-an menjadi titik nadir dalam sejarah Golkar. Gerakan demokratisasi yang menyebar ke seluruh pelosok tanah air telah menggerus suara partai penguasa ini. Hal itu terbukti dalam pelaksanaan Pemilu 1992. Suara Golkar turun menjadi 68,1 persen atau 66,5 juta. Suara PPP dan PDI merangkak naik menjadi masing-masing 17 persen dan 14,8 persen.
Golkar mampu comeback pada Pemilu 1997. Namun peningkatan suara Golkar itu terjadi pasca proses represi terhadap PDI pro Mega. Pada Pemilu 1997, Golkar mampu menguasai 84,1 juta atau 74,5 persen, PPP naik menjadi 22,4 persen. Sedangkan PDI hanya tersisa 3 persen suara. Soeharto kembali terpilih sebagai presiden.
Namun demikian, usia kemenangan Golkar dan Soeharto pada Pemilu 1997 tidak mampu bertahan lama. Gerakan demokratisasi terus berlangsung. Demonstrasi semakin intens. Hasilnya pada Mei 1998 Soeharto berhenti sebagai presiden dan Golkar sebagai golongan penguasa pada waktu itu memperoleh sentimen negatif.
Golkar dan Reformasi
Menariknya meski terkena sentimen negatif, Golkar masih bisa meraup suara yang signifikan pada Pemilu 1999 dengan peserta pemilu sebanyak 48 partai. Golkar yang telah resmi menjadi partai politik tampil sebagai runner up dengan perolehan suara sebanyak 23,6 juta atau 22,4 persen.
Nomor satu adalah PDI Perjuangan dengan perolehan suara sebanyak 33,75 persen. PKB sebagai representasi NU 12,6 persen.
Pada Pemilu 2004 capaian Golkar sangat mengejutkan. Hanya berselang 5 tahun pasca tumbangnya Orde Baru, partai ini mampu tampil sebagai pemenang pemilu. Golkar berhasil meraup suara sebanyak 24,4 juta atau 21,5 persen. PDIP yang sebelumnya menjadi pemenang pemilu suaranya turun. Mereka hanya memproleh suara sebanyak 18,53 persen suara.
Namun demikian, pada Pemilu 2009 Golkar kembali ke posisi kedua dengan perolehan suara 15 juta atau 14,4 persen. Pemenang pemilu adalah Partai Demokrat dengan suara sebanyak 20,8 persen. PDIP di peringkat ketiga dengan suara sebanyak 14,5 juta atau 14 persen.
Pemilu 2014 suara Golkar tak banyak berubah. Partai ini tetap berada di peringkat kedua dengan perolehan suara sebanyak 18,4 juta atau 14,75 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019 posisi Golkar turun ke peringkat 3 dengan capaian suara 17,2 juta atau 12,1 persen.
Adapun Pemilu 2024 menjadi tantangan bagi Golkar. Pasalnya partai berlambang beringin ini tengah menghadapi krisis regenerasi pemimpin yang diharapkan mampu maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Selain itu dari sisi elektabilitas, Golkar terpaut jauh dari PDIP bahkan Gerindra.