Bisnis.com, JAKARTA -- Sekelompok orang yang menyebut sebagai Dewan Pakar Partai Golkar berkumpul di sebuah rumah yang berada di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur pada Minggu (10/7/2023) malam. Rumah itu adalah kediaman politikus senior Golkar Agung Laksono. Informasi yang beredar, para anggota dewan tengah membahas nasib partai beringin itu pada Pilpres 2024.
Golkar memang berada dalam posisi dilematis. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar telah menetapkan Airlangga Hartarto sebagai calon presiden. Namun hingga detik ini, tingkat keterpilihan atau elektabilitas Airlangga masih jauh dari ekspektasi.
Hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI) hingga Indikator Politik, misalnya, memaparkan bahwa elektabilitas Airlangga Hartarto tidak lebih dari 0,5 persen. Kalah bersaing dari Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Elektabilitas Airlangga bahkan lebih rendah dari Puan Maharani yang memiliki angka sedikit lebih baik yakni 0,7 persen.
Ridwan Hisjam, salah satu anggota Dewan Pakar Partai Golkar yang hadir dalam rapat ini mengungkap bahwa mereka gerah dengan kondisi Golkar saat ini. Lewat rapat itu, mereka mendorong evaluasi arah dukungan pencapresan untuk Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto pada Pilpres 2024.
"Keputusan Munas Golkar, Desember 2019, yang salah satunya memutuskan ketum sebagai capres, yang sampai hari ini belum menunjukkan tanda-tanda ke mana arah DPP Partai Golkar. Padahal kan sudah hampir empat tahun ya," ujar Ridwan akhir pekan lalu.
Ridwan menegaskan keputusan untuk mendorong evaluasi kepemimpinan Airlangga buukannya tanpa sebab. Dia menyebut elektabilitas Airlangga hingga kini tak kunjung membaik. Dia bahkan mengibaratkan kader Golkar seakan jadi 'robot' karena keputusan tersebut. Ridwan meyakini, banyak kader yang mendukung pencapresan Airlangga sekadar ikuti putusan munas partai, padahal di hatinya belum tentu.
Baca Juga
"Nah ini harus diakhiri lah, pembodohan-pembodohan ini, pembodohan kader," tegasnya.
Menariknya isu yang berkembang belakangan ini, para eksponen Partai Golkar tidak hanya menuntut evaluasi, sebagian dari mereka juga secaraa tersirat menyuarakan pemakzulan terhadap Airlangga dari jabatan sebagai Ketua Umum Golkar. Airlangga dinilai gagal. Tidak hanya masalah pencapresan, tetapi dalam mengelola salah satu partai terbesar dalam sejarah politik Indonesia.
Golkar memang memiliki pekerjaan rumah tentang regenerasi pemimpin nasional. Partai ini tidak pernah mampu mengantarkan kadernya menjadi pucuk pimpinan tertinggi di Indonesia. Paling pol mentok, hanya berhasil duduk sebagai wakil presiden. Itupun terbatas kepada sosok Jusuf Kalla.
Pencapresan Airlangga Hartarto dalam Munas 2019 lalu adalah untuk mengisi kekosongan calon presiden (capres) dari Golkar. Sayangnya, hingga saat ini nama Airlangga seakan tenggelam dari hiruk pikuk pencapresan pada Pilpres 2024.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi Golkar 'bubar' di tengah jalan. PPP salah satu anggota koalisi memutuskan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. PAN kendati masih bergerak ke kiri dan ke kanan, tampaknya lebih condong untuk mengusung Prabowo Subianto. Tentu ini dengan syarat Erick Thohir sebagai calon wakil presidennya.
Sementara itu Golkar sampai sekarang belum menentukan sikap terkait arah dukungannya pada Pilpres 2024. Airlangga memang beberapa kali tampil bersama dengan politikus lainnya. Dia datang saat acara berbuka di Kantor Partai NasDem. Airlangga juga terekam beberapa kali bertemu dengan Prabowo Subianto.
Namun hingga kini, tidak ada satu keputusan kemana langkah Golkar pada 2024. Sempat ada wacana menggaet partai lain untuk membentuk poros politik baru yang mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres. Poros baru itu sempat digadang-gadang akan menjadi alternatif di antara 3 pilihan yang sudah terbentuk. Hingga kini wacana itu tak kunjung timbanya.
Akibat arah politik yang tidak jelas, sejumlah eksponen Partai Golkar kemudian bergerak dan menyampaikan surat terbuka. Surat itu salah satunya berisi imbauan untuk menyelematkan Golkar pada Pemilu 2024. "Kami akan sampai pada kesimpulan bahwa kepemimpinan Saudara Airlangga Hartarto merupakan kepemimpinan yang terburuk sepanjang sejarah Partai Golkar," tulis surat terbuka tersebut.
Konflik Musiman
Ontran-ontran di tubuh Partai Golkar sejatinya bukan suatu hal yang baru. Setiap pergantian rezim atau mendekati pemilu, partai berlambang beringin itu sering diterpa konflik internal. Sasaran tembaknya adalah posisi ketua umum.
Pada Pemilu 2014 lalu misalnya, Partai Golkar terbelah menjadi dua antara mendukung pencapresan Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla yang pada waktu itu menjadi calon wakil presiden alias Cawapres yang diusung PDI Perjuangan (PDIP). Jusuf Kalla adalah kader senior Golkar.
Puncak konflik pada waktu itu adalah keputusan Ical dan gerbongnya untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai capres pada 2014. Singkat cerita mereka kalah. Konflik terus terjadi di antara elite partai beringin kali ini melibatkan Ical dengan Agung Laksono. Dua-duanya adalah menteri pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Konflik berlangsung keras pada waktu itu. Ada bentrokan di kedua kubu. Ical menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Bali. Sejumlah pendukung Agung Laksono datang ke Bali. Mereka sempat bersitegang dengan ormas lokal yang mengamankan Munas versi Ical. Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar.
Konflik sedikit mereda pada tahun 2016. Saat itu musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) yang menunjuk Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Golkar memperoleh posisi yang penting pada waktu itu. Setya Novanto menjabat sebagai Ketua DPR. Sedangkan, di eksekutif sejumlah kader Golkar salah satunya adalah Airlangga Hartarto menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi.
Namun kepemimpinan Setya Novanto berakhir dengan kasus pidana. Dia terbukti terlibat dalam sejumlah skandal korupsi, salah satunya proyek pengadaan e-KTP. Setya atau Setnov lengser dari kursi Golkar 1. Airlangga Hartarto kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Golkar sejak tahun 2017 setelah persaingan ketat dengan Bambang Soesatyo.
Konflik internal juga terjadi pada 2019. Lagi-lagi pemicunya adalah arah dukungan partai pada Pilpres 2019. Golkar secara resmi mendukung Jokowi sebagai capres. Sementara sejumlah kader senior memilih bergabung dengan Prabowo Subianto. Terakhir menjelang Pemilu 2024, konflik itu kembali mengemuka, kali ini isunya adalah evaluasi pencapresan dan posisi Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.
Airlangga sendiri tidak terlalu menggubris desakan supaya dirinya mundur. Dia hanya mengatakan bahwa pihaknya tidak akan mengadakan Musyawarah Nasiona Luar Biasa (Munaslub) tahun ini. Airlangga juga menegaskan bahwa penunjukkannya sebagai ketua umum telah sah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Politikus yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu pun menilai bahwa keputusan partai tak bisa dilakukan hanya berdasarkan dorongan atau desakan. Airlangga pun mengatakan bahwa pergantian Ketum dapat terealisasi pada Musyawarah Nasional (Munas) yang akan dilakukan pada tahun 2024 nanti.
“Ya itu tadi saya katakan, kan tidak ada Munaslub, tetapi nanti ada Munas 2024, silakan kalau berminat jadi ketua umum Golkar pada 2024 nanti,” imbuhnya.