Bisnis.com, JAKARTA - Hari ini, tepat 25 tahun Indonesia memasuki era reformasi usai rezim Orde Baru tumbang.
Masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun berkuasa sejak 1966 akhirnya lengser dari jabatannya pada 1998 setelah demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran di berbagai daerah.
Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai presiden untuk meredam aksi demonstrasi hingga kerusuhan yang melibatkan mahasiswa, aparat keamanan, hingga masyarakat sipil. Tragedi berdarah tersebut hingga saat ini dikenang sebagai Hari Peringatan Reformasi.
Latar Belakang Politik
Mengutip berbagai sumber, kelahiran Orde Baru ditandai dengan munculnya Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat yang terdiri dari tiga tuntutan, yakni pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga. Ide tersebut digagas oleh Angkatan 66 Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Kendati demikian, Presiden Soekarno menunjukkan sikap bertolak belakang dengan aksi-aksi tersebut. Puncaknya, terjadinya peristiwa G30S/PKI pada 1965 sehingga membuat kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Soekarno menurun.
Turunnya kredibilitas Soekarno terhadap publik akibat peristiwa G30S/PKI membuatnya mengeluarkan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto yang disebut Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Baca Juga
Dalam Surat Perintah tersebut, Soekarno menunjuk Soeharto untuk melakukan segala tindakan demi menjaga ketenangan, keamanan, dan stabilitas politik nasional. Supersemar menjadi titik awal berkembangnya kekuasaan Orde Baru.
Hingga akhirnya, melalui Tap MPR No. XXXIII/MPRS/1967 Soeharto mulai menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia di masa Orde Baru.
Di masa pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi dan pembangunan yang signifikan. Namun, di sisi lain, pemerintahan Soeharto juga dikenal dengan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang merajalela.
Kronologi Kejatuhan Orde Baru
Awal mula kejatuhan Orde Baru ditandai dengan krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 silam. Nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar Amerika Serikat yang berfluktuasi di rentang Rp12.000-Rp18.000 dari awalnya Rp2.200 pada awal tahun.
Alhasil, masyarakat yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan dolar AS semakin memperburuk situasi, sehingga inflasi rupiah dan harga bahan pokok melambung.
Di tengah situasi tersebut, pemerintah justru menaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Akibatnya ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi rawan pangan dengan kampanye makan tiwul yang disiarkan melalui televisi.
Krisis ekonomi tersebut akhirnya menimbulkan kekacauan di Indonesia. Pada 12 Mei 1998, tepatnya pada sore hari, ribuan mahasiswa termasuk Universitas Trisakti melakukan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR. Kendati demikian, aksi damai tersebut berakhir tragis dengan penembakan oleh aparat keamanan terhadap demonstran.
Akibatnya penembakan tersebut, empat orang mahasiswa Trisakti meregang nyawa. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendryawan. Kini, mereka dikenang sebagai pahlawan reformasi dan peristiwa tersebut dinamai Tragedi Trisakti.
Keempat mahasiswa Trisakti yang gugur tersebut akhirnya memicu aksi-aksi lain di berbagai daerah yang menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka. Jakarta menjadi kota berdarah pada 13 Mei 1998 dan beberapa hari setelahnya karena kerusuhan hingga aksi penjarahan terhadap toko dan rumah etnis Tionghoa. Hal yang sama juga terjadi di berbagai kota di Indonesia.
Kemudian pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa kembali mendatangi gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi agar Soeharto mundur dari jabatan presiden. Di depan massa, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi jajaranya menyampaikan bahwa dirinya dan juga jajaran DPR lainnya juga menghendaki serta menyarankan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Singkat cerita, pada Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, tepat pukul 09.05 WIB, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan presiden dan digantikan oleh B.J. Habibie sebagai presiden ketiga RI.
Ekonomi Politik Pasca-1998
Kendati demikian, mengacu buku Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru oleh Prof. K Marijan (2019), konstruksi ekonomi politik pascakejatuhan Soekarno dan Soeharto mengalami perbedaan signifikan.
Dijelaskan, kroni bisnis Soekarno seperti Jusuf Muda Dalam dan Markham dibabat dan menjadi sangat rentan. Sementara itu, kroni bisnis Soeharto tidak ikut jatuh sebagaimana lengsernya kekuasaan Soeharto.
Richard Robinson dan Vedi. R Hadiz (2004) mengatakan, para konglomerat dan keluarga bisnis politik besar di era Soeharto terbukti tidak selemah para pendahulu mereka.
Hal itu tak lepas dari fakta bahwa kroni bisnis Soeharto telah memasuki sektor-sektor bisnis yang lebih kompleks, termasuk menjadikan sejumlah perusahaannya menjadi perusahaan publik dan melibatkan investor asing.
Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang ada pada pemerintahan Soeharto, dengan demikian ditengarai dapat dengan mudah mereorganisasi diri dan menjadi bagian dari penguasa-penguasa baru.