Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kishida Siapkan 8 Kursi Tambahan di KTT G7 Hiroshima, untuk Siapa?

PM Jepang Fumio Kishida menyiapkan 8 kursi tambahan pada KTT G7 Hiroshima.
Para pemimpin Kelompok Tujuh (G7) berpose untuk berfoto di Kuil Itsukushima di pulau Miyajima pada hari pertama KTT para pemimpin G-7 di Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang, pada Jumat (19/5/2023). Sumber: Japan Pool/Bloomberg
Para pemimpin Kelompok Tujuh (G7) berpose untuk berfoto di Kuil Itsukushima di pulau Miyajima pada hari pertama KTT para pemimpin G-7 di Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang, pada Jumat (19/5/2023). Sumber: Japan Pool/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Tuan rumah KTT Group of Seven (G7) tahun ini, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengundang 8 tamu tambahan dalam pertemuan puncak KTT G7 yang dimulai pada Jumat (19/5/2023), di Hiroshima. 

Sebagaimana diketahui, pertemuan tahunan ini melibatkan tujuh negara demokrasi terkaya di dunia, yakni Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, dan Italia. 

Melansir BBC, Jepang mengundang negara-negara tambahan di KTT G7 ini mulai dari Indonesia, Australia, India, Brasil, Korea Selatan, Vietnam, Komoro yang mewakili Uni Afrika, dan Kepulauan Cook yang mewakili Kepulauan Pasifik.

Jepang mengundang negara-negara ini untuk mengakomodasi koalisi yang lebih global, daripada hanya koalisi negara-negara Barat.

Perdana Menteri Jepang diketahui telah melakukan perjalanan ke 16 Negara dalam 18 bulan terakhir, termasuk India, Afrika, dan wilayah Asia Tenggara.

Hal ini dilakukan untuk memberikan bukti ke negara-negara ini jika terdapat alternatif dari uang dan kekuatan dari Rusia dan China. 

Salah satu tujuan terjelas Kishida adalah untuk menunjukkan 'united front' mengenai invasi Rusia ke Ukraina.

G7 dilaporkan sedang berusaha memberlakukan sanksi lebih lanjut yang ditujukan pada sektor energi dan ekspor yang membantu upaya perang Rusia. 

Akan tetapi, banyak tamu tambahan yang tidak akan menyukai langkah ini. Misalnya, India telah menolak untuk patuh pada sanksi Barat terhadap impor Rusia.

India juga tidak secara eksplisit mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Selain hubungan mereka yang telah lama terjalin, India juga bergantung pada impor energi Rusia dan mempertahankan pembelian minyaknya dari Rusia, karena tidak mampu membayar harga yang lebih tinggi.

India bukanlah satu-satunya yang menolak patuh terhadap sanksi Barat. Negara-negara ekonomi berkembang telah terkena dampak paling parah dari kenaikan biaya, sebagian disebabkan oleh perang di Ukraina.

Sekarang, negara-negara tersebut khawatir jika lebih banyak sanksi dapat mendorong Moskow untuk menghentikan kesepakatan gandum Laut Hitam yang memungkinkan ekspor penting dari Ukraina. Hal ini dapat memperburuk kelangkaan pangan dan semakin meningkatkan harga.

Bagi negara yang lain, ini tidak hanya tentang dampak pribadi dari sanksi tersebut.

"Vietnam memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Rusia, yang menyediakan setidaknya 60 persen dari persenjataan mereka dan 11 persen pupuk mereka," kata Nguyen Khac Giang, seorang peneliti tamu di Institute of South East Asian Studies di Singapura.

Sementara itu, Indonesia meskipun tidak bergantung pada Rusia, adalah importir penting senjata Rusia dan tetap menjaga hubungan baik dengan Moskow.

"Untuk alasan ini, saya tidak percaya bahwa Hanoi dan Jakarta akan secara eksplisit menentang atau mendukung sanksi lebih lanjut terhadap Rusia. Melakukannya akan menimbulkan risiko ekonomi dan politik yang signifikan, sementara manfaat yang diperoleh sangat terbatas bagi mereka," ujar dia.

Yang harus diharapkan oleh Kishida adalah bahwa kota kelahirannya, Hiroshima, di mana bom atom menewaskan lebih dari 100.000 orang, akan memusatkan perhatian pada ancaman nuklir yang ditimbulkan oleh Rusia. 

Kunjungan di sekitar kota tersebut akan selalu mengingatkan akan kerusakan yang dapat disebabkan oleh senjata-senjata tersebut, serta mendukung pesan bahwa para undangan memiliki tanggung jawab untuk memastikan senjata semacam itu tidak pernah digunakan lagi.

Namun, hal itu mungkin tidak cukup untuk menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai sejauh mana sanksi harus diterapkan. Ada kefrustrasian yang semakin meningkat di kalangan negara-negara di luar G7 bahwa suara mereka terlalu sering diabaikan oleh Barat. 

Namun, para analis percaya bahwa mendengarkan dan memperlakukan negara-negara ini sebagai mitra setidaknya merupakan awal yang baik.

"Hal ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan kekhawatiran mereka kepada pemimpin G7 mengenai berbagai masalah, mulai dari perang di Ukraina dan perlambatan ekonomi global, hingga risiko keamanan di Asia Timur, terutama mengenai sengketa Laut China Selatan dan Taiwan," kata Nguyen Khac Giang mengenai keterlibatan Vietnam dan Indonesia.

Sebagai pemimpin satu-satunya negara G7 dari Asia, Kishida melihat KTT ini sebagai kesempatan untuk merespons peningkatan kekuatan militer China di sekitar Taiwan. Tetapi, China yang terhubung secara efektif ke rantai pasokan global menjadi tantangan yang lebih sulit daripada Rusia.

G7 tidak hanya mengambil sikap terhadap ambisi militer China. Mereka juga prihatin dengan apa yang mereka sebut tekanan ekonomi oleh China, yang merupakan balasan atas tindakan yang dianggap mengkritik China. Seperti pemotongan impor dari Australia pada 2019.

Belum jelas bentuk tindakan apa yang diambil oleh G7, atau apakah mereka dapat sepakat dengan mitra Uni Eropa mereka mengenai cara bertindak bersama. Pasalnya, Jepang dan Uni Eropa menjadikan China sebagai partner perdagangan utama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper