Bisnis.com, JAKARTA - Perbedaan awal puasa Ramadan muncul karena perbedaan metode yang digunakan oleh beberapa organisasi masyarakat Islam.
Muhammadiyah menggunakan metode wujudul hilal, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ormas Islam lainnya menggunakan metode rukyatul hilal.
Adapun, pemerintah Indonesia menggabungkan dua metode, yaitu hisab dan rukyat dalam menetapkan awal bulan puasa.
Muhammadiyah
Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menggunakan kriteria wujudul hilal atau kenampakan hilal antara arsi merah dan putih.
Mengutip dari laman resmi Muhammadiyah, dengan metode wujudul hilal, bulan Kamariah baru akan dimulai jika Matahari terbenam pada hari ke-29 bulan berjalan telah memenuhi beberapa syarat.
Pertama, telah terjadi ijtimak atau peristiwa di mana Bumi, Matahari, dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama.
Baca Juga
Kedua, ijtimak harus terjadi sebelum Matahari terbenam
Ketiga, kriteria mulainya bulan baru adalah ketika matahari terbenam, keberadaan Bulan masih berada di atas ufuk.
Nahdlatul Ulama (NU)
Berbeda dengan Muhammadiyah, NU menetapkan awal Ramadan, Syawal, Zulhijah berdasarkan kriteria rukyatul hilal atau pengamatan hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah.
Pengamatan tersebut dilakukan dengan menggunakan mata telanjang ataupun bantuan alat optik, seperti teleskop.
Berdasarkan Surat Keputusan LF PBNU Nomor 001/SK/LF-PBNU/III/2022 tentang Kriteria Imkan Rukyah NU, bulan telah berganti ketika ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.
Adapun, kriteria yang dianut oleh NU sama dengan kriteria baru yang ditetapkan oleh Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).