Bisnis.com, JAKARTA - Korea Selatan (Korsel) mengumumkan rencana menyelesaikan sengketa kompensasi bagi orang-orang yang dipaksa bekerja pada masa pendudukan Jepang di Korea pada 1910-1945.
Dilansir dari Reuters pada Senin (6/3/2023), Menteri Luar Negeri (Menlu) Korsel Park Jin mengatakan dengan rencana tersebut, pemerintah akan memberikan kompensasi kepada mantan pekerja paksa melalui yayasan publik yang didanai oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Saat pertama kali Korsel mengajukan proposal pada Januari, hal tersebut memicu reaksi keras dari para korban dan keluarga mereka karena tidak menyertakan kontribusi dari perusahaan-perusahaan Jepang, termasuk yang diperintahkan oleh pengadilan Korsel untuk membayar ganti rugi.
"Ini adalah kemenangan penuh oleh Jepang, yang telah mengatakan tidak dapat membayar satu yen pun untuk masalah kerja paksa," kata pengacara para korban, Lim Jae-sung.
Kantor berita Korsel Yonhap juga melaporkan sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Seoul dan Tokyo secara sementara telah setuju untuk mendirikan dana pemuda masa depan untuk mensponsori beasiswa dengan dana dari perusahaan-perusahaan di kedua negara.
Menlu Park meyakini bahwa pemerintah Jepang tidak akan menghalangi perusahaan-perusahaan Jepang untuk berkontribusi secara sukarela.
Baca Juga
Hubungan kedua negara jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade setelah Mahkamah Agung (MA) Korea Selatan pada 2018 memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar ganti rugi kepada para mantan pekerja paksa.
Adapun, 15 warga Korea Selatan telah memenangkan kasus-kasus semacam itu, tetapi tidak ada yang mendapatkan kompensasi.
Perselisihan tersebut meluas menjadi sengketa perdagangan. Jepang bersikukuh bahwa masalah kompensasi telah diselesaikan di bawah perjanjian sebelumnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida menyampaikan kepada parlemen bahwa pembicaraan sedang berlangsung dan tidak tepat untuk membahas secara spesifik.
Tak hanya itu, Amerika Serikat (AS) yang merupakan sekutu penting kedua negara tersebut telah menekan untuk berdamai. Namun, faktor utama yang memicu dorongan Yoon untuk berdamai adalah ancaman geopolitik dari Korea Utara.