Bisnis.com, JAKARTA - Jelang tahun politik periode 2024, akhir masa kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) disebut masih jauh dari fenomena 'lame duck' atau bebek lumpuh, yang berpotensi membawa instabilitas kondisi perekonomian.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengungkap hal tersebut dalam konteks memaparkan hasil survei kepuasan publik beserta optimisme atas kondisi perekonomian per Desember 2022.
"Jelang masa transisi, setidaknya persepsi publik ketika sudah tidak puas sekali pun, harus tetap optimistis untuk setahun ke depan, sehingga psikologi publik terbaca dan stabilitas masih bisa dijaga. Saat ini publik termasuk puas dan cukup optimistis," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Rabu (8/2/2023).
Secara terperinci, berdasarkan survei Charta Politika, publik yang puas per Desember 2022 menguat ke 72,9 persen sementara yang tidak puas menurun ke 25,8 persen. Persentase ini tercatat lebih tinggi sejak sempat anjlok pada era pandemi Covid-19.
Persentase kepuasan publik ini sepanjang tahun lalu pun terbilang pulih, sebab tercatat sempat menurun per Juni 2022 dan September 2022, yang beberapa di antaranya terdampak fenomena kelangkaan minyak goreng dan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.
Sementara itu, optimisme atas kondisi perekonomian ke depan juga tercatat stabil di 65,4 persen per Desember 2022, walaupun tercatat turun tipis ketimbang 71 persen di Juni 2022. Publik yang tidak puas pun cenderung turun ke 27,2 persen, karena yang masih ragu atau tidak menjawab mengalami kenaikan.
Menurut Yunarto, kemampuan pemerintah menjaga kenaikan laju inflasi dalam beberapa bulan belakangan menjadi salah satu kunci penguatan tingkat kepuasan dan optimisme publik terhadap kondisi perekonomian ke depan.
Berdasarkan hasil survei ini, Yunarto menjelaskan bahwa kepemimpinan Jokowi terbilang masih belum berada pada fase yang disebut 'kutukan periode II' yang akhirnya bisa bermuara pada lame duck situation.
Sebagai informasi, terminologi lame duck kerap disebut dalam lanskap perpolitikan di Amerika Serikat ketika suatu presiden yang menjabat selama dua periode mulai memasuki masa pensiun, sebab negara Paman Sam juga membatasi kepemimpinan presiden selama dua periode.
Kutukan periode II biasanya dipicu kondisi di mana seorang pemimpin mulai nothing to lose, sehingga kerap tak lagi mempertimbangkan kebijakan populis. Pengaruhnya dalam peta perpolitikan pun memudar, sehingga fleksibilitasnya dalam menghalau isu negatif secara umum akan melemah.
Akhirnya, situasi ini biasanya dimanfaatkan para politisi lain, terutama lawan politik dari lingkaran petahana, untuk mulai mendulang simpati publik, atau sesederhana menjatuhkan kredibilitas partai penguasa.
Yunarto mencontohkan era akhir kepemimpinan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sudah mengalami fenomena lame duck sejak pertengahan 2011, di mana persepsi publik tidak pernah lagi menyentuh 60 persen, sampai pada akhirnya baru mulai pulih di pertengahan 2014.
"Jadi ada instabilitas politik ketika seorang pemimpin sudah ketahuan akan pensiun, jadi stakeholder di bawahnya mulai cari-cari bos baru, mulai tidak loyal. Ini sebenarnya wajar dalam psikologi kepemimpinan," jelas pria yang akrab disapa Toto ini.
Kala itu, situasi politik dan perekonomian mengalami guncangan, karena SBY harus mengalami tantangan berakhirnya era booming commodity jelang 2012, di mana sebelumnya sempat berpengaruh besar dalam menolong pertumbuhan ekonomi Indonesia menembus kisaran 6 persen.
"Jadi walaupun pengaruh kondisi eksternal era Jokowi terlihat lebih buruk, yaitu Covid-19 dan konflik geopolitik, Jokowi masih tertolong justifikasi dari persepsi publik bahwa seluruh dunia mengalami kondisi serupa. SBY berbeda, terbilang berat karena pada masa itu ada negara-negara yang dianggap menang dan kalah," ungkapnya.
Ditambah lagi, ada kasus-kasus besar di era SBY yang begitu menjadi sorotan publik dan pengaruh besar terhadap tingkat kepuasan masyarakat. Antara lain, soal Bank Century, mafia pajak, polemik reshuffle yang membuat Sri Mulyani terpental di tengah konflik internal pemerintahan, sampai akhirnya badai korupsi di tubuh Partai Demokrat yang menimpa ketua umum dan bendahara umumnya.
Selain itu, menurut Yunarto, perbedaan mendasar antara SBY dan Jokowi dalam memasuki masa-masa akhir kepemimpinan, yaitu pengaruh masing-masing dalam partai politik, yang notabene akan berpengaruh terhadap instabilitas kondisi internal pemerintahan.
Jokowi yang hanya menjadi petugas partai, justru menjadi kelebihan dalam memasuki masa-masa transisi, ketimbang kondisi SBY waktu itu sebagai penguasa Partai Demokrat.
"Mungkin di lingkaran partai, Jokowi hanya petugas, tidak bisa mengambil keputusan strategis, tapi dia jadi punya elastisitas menjaga hubungan dengan partai lain, terutama di level elit. Misalnya, saat ini Golkar, PAN, PPP, kecuali NasDem. Ini menghindari instabilitas karena fenomena lame duck," tutupnya.