Bisnis.com, JAKARTA – Kesulitan karena pandemi Covid-19 tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga oleh orang nomor satu di Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia juga memaparkan momen-momen Genting saa Pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Hal ini disampaikannya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Tahun 2023 di Gedung AA Maramis, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).
Presiden RI asal Surakarta ini mengenang bahwa saat pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, situasi tenang berubah sekejab menjadi genting, semua orang kebingungan. Anjuran untuk mengenakan masker bagi yang sakit berubah seketika menjadi wajib memakai bagi semua orang.
“Namun, tidak ada seminggu semua harus pakai masker, ternyata mereka bingung, kita juga bingung,” ujarnya, Kamis (26/1/2023).
Bahkan, dia melanjutkan situasi kian sulit sehingga semua Negara mulai berhamburan untuk saling memperebutkan Alat Pelindung Diri (APD), masker, dan vaksin.
“Begitu sampai pada puncaknya semua Negara mencari yang namanya APD [Alat Pertahanan Diri], APD semuanya cari, kita juga cari ke mana-mana. Dan ternyata kita sendiri bisa berproduksi dan dikirim ke Negara-negara lain. Saking memang posisinya posisi semua bingung,” ujarnya.
Baca Juga
Meski begitu, Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bersyukur karena manajemen makro dan mikro yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait sangat efektif untuk membendung gejolak dan meminimalisir potensi penyebaran wabah pandemi Covid-19.
“Saya melihat semuanya kita ini bekerja karena tertekan oleh persoalan, tertekan oleh masalah. Semuanya bekerja,” kata Jokowi.
Tidak hanya itu, Jokowi melanjutkan ceritanya, di saat keadaan makin gawat dan dipenuhi ragam tekanan dari segala sisi agar Indonesia menerapkan penutupan wilayah (lockdown), tetapi dirinya tak ingin secara tergesa-gesa dalam memutuskan kebijakan.
Apalagi, dia menilai bahwa segala keputusan yang dibuat tergesa-gesa tidak bijak sebab akan melibatkan ratusan juta jiwa dari masyarakat Indonesia.
“Pada saat memutuskan lockdown atau tidak lockdown, rapat menteri 80 persen, ‘Pak lockdown’ karena semua Negara memang melakukan itu. Tidak dari DPR, tidak dari partai, semuanya lockdown. Tekanan-tekanan seperti itu pada saat mengalami krisis dan [saya melihat] kita tidak jernih, kita tergesa-tergesa, kita grusah grusuh, kita bisa salah kita bisa keliru,” tuturnya.
Presiden RI Ke-7 ini membayangkan apabila saat itu Indonesia secara terburu-buru memutuskan untuk mengunci Negara dan melakukan pembatasan secara besar-besaran, maka akan banyak kerugian yang dinilainya akan terjadi di Indonesia.
“Coba saat itu, misalnya kita putuskan lockdown. Itungan saya dalam 2 atau 3 minggu, rakyat sudah tidak bisa memiliki peluang bahkan yang kecil untuk mencari nafkah, semuanya ditutup, negara tidak bisa memberikan bantuan kepada rakyat, apa yang terjadi. Rakyat pasti rusuh. Itu yang kita hitung sehingga kita putuskan saat itu tidak lockdown,” katanya.
Bahkan, dia menyebutkan butuh waktu 72 jam untuk memikirkan secara matang kebijakan apa yang harus dipilih oleh Indonesia.
“Saya semedi 3 hari untuk memutuskan apa ini, apakah kita harus lockdown atau tidak. Karena betul-betul sangat tidak memiliki pengalaman semuanya mengenai [pandemi] ini,” katanya.
Mantan Wali Kota Solo ini melanjutkan bahwa semua Negara melihat pandemi sebagai tantangan, padahal ada banyak pelajaran dan pengalaman yang bisa dipetik. Salah satunya, rasa kebersamaan makin kuat disaat setiap pihak merasakan tekanan yang sama.
“[Pandemi] itu yang tidak kita lihat sebelum-sebelumnya. Jadi ini sebagai pengalaman, ternyata kalau kita pengen semua kita ini bekerja sama dengan baik, memang harus ditekan dulu. Diteken oleh persoalan, ditekan oleh problem, ditekan oleh tantangan,” pungkas Jokowi.