Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Amerika Serikat dikabarkan sudah kontraksi selama dua kuartal berturut-turut, hal ini meningkatkan kekhawatiran bahwa negara itu berada di puncak resesi.
Dilansir dari Pbs.org pada Jumat (29/7/2022), kekacauan ekonomi pasca pandemi membuat kebingungan para pemangku kebijakan Federal Reserve dan ekonom, karena berhentinya pertumbuhan ekonomi pada Maret 2020 sejak pandemi Covid-19 hingga menyebabkan 20 juta orang Amerika tiba-tiba diberhentikan dari pekerjaan.
Untuk mengatasi jumlah pengangguran itu, maka pengusaha telah menambahkan 2,7 juta pekerjaan dan angka itu lebih banyak daripada di tahun sebelum pandemi melanda hingga membuat tingkat pengangguran turun menjadi 3,6 persen.
Sementara itu, sebagian besar ekonom dan Ketua Fed, Jerome Powell mengatakan untuk saat ini mereka tidak berpikir ekonomi berada dalam resesi, akan tetapi banyak yang memperkirakan penurunan ekonomi akan dimulai akhir tahun ini atau berikutnya.
Seakan tidak peduli dengan inflasi yang mengamuk pada tingkat tertinggi dalam empat dekade terakhri, terlihat daya beli orang Amerika punmulai terkikis. Penderitaan lalu dirasakan oleh rumah tangga berpenghasilan rendah dan Hispanik, banyak dari mereka berjuang untuk membayar kebutuhan pokok yang lebih mahal seperti makanan, gas, dan harga sewa.
Menambah tekanan tersebut, The Fed memilih mendongkrak suku bunga pada laju tercepat sejak awal 1980-an, sehingga memperbesar biaya pinjaman untuk rumah dan mobil serta pembelian kartu kredit.
Baca Juga
Akibatnya, terlepas dari apakah resesi telah resmi dimulai, ekonomi Amerika akan semakin memburuk. Untuk itu simak ini merupakan penjelasan seputar resesi, di antaranya:
Resesi secara resmi akan dinyatakan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional, mereka akan mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh sektor perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan.
Komite menilai banyak poin dan data lainnya untuk menentukan resesi dimulai, termasuk pengukur pendapatan, pekerjaan, pengeluaran yang disesuaikan dengan inflasi, penjualan ritel, dan output pabrik.
Hal ini tentunya memberikan beban berat pada pekerjaan dengan pendapatan yang telah disesuaikan dengan inflasi, juga belum termasuk pembayaran dukungan pemerintah seperti Jaminan Sosial yang terancam.
Namun, komite ini juga biasanya tidak menyatakan resesi secara langsung, terkadang hingga satu tahun baru akan mengumumkan secara resmi, karena para ekonom menganggap kenaikan dalam tingkat pengangguran dalam rata-rata selama beberapa bulan, sebagai tanda penurunan yang paling dapat diandalkan secara historis.
Apakah dalam dua kuartal berturut-turut kontraksi ekonomi sama dengan resesi?
Menjawab pertanyaan itu memang dalam aturan umum bisa dikatakan resesi akan tetapi hal ini bukan definisi resmi dari resesi. Namun, seorang ekonom di American Enterprise Institute, Michael Strain mengungkapkan bahwa dalam 10 kali terakhir ekonomi menyusut selama dua kuartal berturut-turut, resesi telah terjadi dalam kontraksi itu.
Saat ini, Strain pun tidak yakin saat ini sedang dalam resesi, ia juga melihat seperti banyak ekonom bahwa penggerak ekonomi yang mendasari belanja konsumen, investasi bisnis, pembelian rumah, semuanya ini memang akan tumbuh pada kuartal pertama.
Menurut Strain, kondisi ekonomi saat ini memang masih tumbuh melambat akan tetapi perlamabatan itu akan meningkat pada kuartal kedua.
Penyebab Orang-Orang Berasumsi Resesi Akan Datang
Penyebabnya karena banyak orang sekarang merasa lebih terbebani secara finansial, maka dengan kenaikan upah yang mengikuti inflasi bagi kebanyakan orang, harga yang lebih tinggi untuk kebutuhan pokok seperti gas, makanan, dan sewa telah mengikis daya beli orang Amerika,
Sementara itu, dalam sepekan ini Walmart telah melaporkan bahwa biaya bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi telah memaksa pembelinya untuk mengurangi pembelian mereka, akhirnya perusahaan toserba terbesar di AS tersebut mengurangi prospek labanya dan mengatakan harus mendiskon lebih banyak barang seperti furnitur dan elektronik.
Lalu, kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed telah menyebabkan tingkat hipotek rata-rata berlipat ganda dari tahun lalu, menjadi 5,5 persen dan menyebabkan penurunan tajam dalam penjualan rumah dan konstruksi.
Tarif yang lebih tinggi juga kemungkinan akan membebani investor saat berinvestasi di gedung baru, mesin, dan peralatan lainnya. Jika perusahaan sudah mengurangi pengeluaran dan investasi, mereka juga akan semakin berhati-hati dalam melangkah.
Akhirnya, dengan meningkatnya kehati-hatian di antara perusahaan tentang pengeluaran, maka PHK menjadi pilihan. Lalu masyarakat semakin ketakutan, maka konsumen akan semakin mengurangi pengeluaran.
Kenaikan suku bunga Fed yang cepat ini telah meningkatkan kemungkinan resesi dalam dua tahun ke depan hingga menyentuh angka 50 persen, kata ekonom Goldman Sachs. Selain itu, para ahli seperti ekonom Bank of America memperkirakan resesi "ringan" akhir tahun ini, sementara Deutsche Bank memperkirakan resesi awal tahun depan.
Tanda Resesi Akan Dimulai
Ekonm menilai sinyal paling jelas bahwa resesi sedang berlangsung dengan meningkatnya seseorang kehilangan pekerjaan dan menyebabkan lonjakan pengangguran.
Jika melihat masa lalu, peningkatan tingkat pengangguran tiga per sepuluh persen, rata-rata selama tiga bulan sebelumnya akan menandakan resesi terjadi. Oleh karena itu, banyak ekonom memantau jumlah orang yang mencari tunjangan pengangguran setiap minggu, yang menunjukkan apakah PHK ini memburuk atau tidak.
Dalam aplikasi mingguan untuk bantuan pengangguran, mencatat rata-rata selama empat minggu terakhir, telah meningkat selama delapan minggu berturut-turut hingga kini menjadi hampir 250 ribu dan ini merupakan level tertinggi sejak November lalu. Hal ini bisa jadi potensi yang mengkhawatirkan sebagai tanda dari resesi, namun secara historis masih merupakan level rendah.
Tanda lain yang harus diperhatikan adalah sinyal yang dikenal sebagai "kurva hasil terbalik." Kurva ini umumnya mengartikan bahwa investor memperkirakan resesi yang akan memaksa The Fed untuk memangkas suku bunga dan kurva terbalik ini sering kali mendahului resesi.
Keputusan The Fed
Banyak yang mempertanyakan keputusan The Fed tentang akan terus menaikkan suku bunga saat ekonomi melemah, kondisi ini tentunya telah menempatkan The Fed di tempat yang sulit. Ketua Jerome Powell bertujuan untuk menghindari risiko, yang dimana ekonomi cukup melemah untuk memperlambat perekrutan dan pertumbuhan upah tanpa menyebabkan resesi, hingga akhirnya membawa inflasi kembali ke target 2 persen Fed.
Namun, Powell telah mengakui bahwa hasil seperti itu semakin sulit untuk dicapai, karena ditambah invasi Rusia ke Ukraina dan penguncian Covid-19 China telah menaikkan harga makanan energi dan banyak suku cadang manufaktur di AS
Powell juga telah mengindikasikan bahwa jika perlu, The Fed akan terus menaikkan suku bunga bahkan di tengah ekonomi yang lemah jika itu yang diperlukan untuk menjinakkan inflasi.
Powell mengatakan bahwa tentu ada risiko saat menaikkan suku bunga, namun ia menegaskan bahwa kesalahan yang besar terjadi ketika gagal memulihkan stabilitas harga.