Cadangan Mineral
Krisis komoditas saat ini memberi wawasan tentang pentingnya akses tanpa gangguan ke mineral. Kontrol mineral tersebut lebih terkonsentrasi pada bahan bakar fosil dan China berperan dominan dalam produksi dan pemurniannya.
Dominasi ini dapat digunakan untuk pengaruh geopolitik, seperti yang terjadi ketika China melarang ekspor logam langka ke Jepang menyusul konflik maritim pada tahun 2010.
Akan tetapi, karena sengketa Laut China Selatan antara Beijing dan negara-negara Asia Tenggara tertentu terus memburuk, maka negara-negara di kawasan itu harus berkolaborasi dalam mengembangkan deposit domestik, yang dapat mencakup logam langga di Myanmar dan Vietnam, dan nikel di Filipina.
Meskipun wilayah ini memiliki cadangan mineral yang besar, investasi di bidang pertambangan telah menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Artinya, jika negara-negara Asia Tenggara dapat mengembangkan cadangan yang ada maka hal itu dapat memainkan peran kunci dalam mendiversifikasi rantai pasokan. Ada juga potensi untuk memperoleh pendapatan US$60 miliar pada tahun 2050, kata Mirza.
Sejauh ini, negara-negara di Asia Tenggara menanggapi krisis komoditas dengan memprioritaskan target ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan upaya dekarbonisasi jangka panjang.
Akan tetapi, sekali lagi, krisis tampaknya memberikan kesempatan bagi para pemimpin regional untuk menata ulang orientasi dan kolaborasi masa depan menuju energi terbarukan dan mineral transisi energi.
Hal ini diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan dan perlindungan terhadap guncangan pasokan di masa depan. Apalagi dalam lingkungan global yang semakin tidak pasti dan terjadinya perubahan iklim.
Pada akhirnya, perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda mereda sehingga Kawasan Asia Tenggara harus bersiap untuk setiap kemungkinan yang ada.