Bisnis.com, JAKARTA – Untuk menghindari dampak negatif kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya kepada petani, Anggota Komisi VII DPR Mulyanto meminta pemerintah bertanggung jawab lewat aksi nyata. Mulyanto mendesak pemerintah untuk membeli produksi sawit di kalangan petani.
Pasalnya, sehari setelah kebijakan larangan ekspor itu diberlakukan harga tandan buah segar (TBS) sawit hasil produksi petani anjlok.
Harga TBS yang sebelumnya Rp3.000 sampai Rp4.000 kini hanya dihargai Rp1.200 sampai Rp1.600 per kilogram. Akibatnya, petani merugi dan serba salah untuk menjual hasil kebunnya.
"Kami minta pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan nasib para petani sawit rakyat tersebut. Sebaiknya pemerintah memberikan insentif kepada mereka. Sebab pemerintah harus bertanggung-jawab atas kebijakan yang diputuskannya terutama kepada pihak yang paling rentan terdampak. Apalagi pandemi belum berakhir dan daya beli mereka masih lemah," katanya kepada wartawan, Jumat, (6/5/2022).
Mulyanto menjelaskan bahwa salah satu insentif penting untuk meringankan petani sawit rakyat adalah dengan menyerap produk TBS tersebut dengan harga yang wajar. Misalnya dengan membeli dan mengolah biofuel yang bersifat mandatori dari sawit rakyat.
Apalagi, tambahnya, Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM telah menyepakati peningkatan kuota solar bersubsidi menjadi 17 juta kiloliter untuk tahun 2022 dari sebelumnya yang sekitar 15 juta kiloliter.
Dengan program 30 persen biofuel (B30), maka dapat diserap minyak sawit mentah lebih dari 5 juta kilo liter. Terlebih kalau program ini dapat ditingkatkan menjadi B40 atau B50, serapan minyak sawit mentah rakyat dapat ditingkakan.
Menurut Mulyanto, BUMN Perkebunan dan anak perusahaannya yang mengolah hasil perkebunan harus didorong pemerintah untuk meningkatan serapan produk TBS petani sawit rakyat tersebut.
“Langkah ini akan cukup menolong para petani sawit rakyat tersebut selama masa pelarangan ekspor CPO dan turunannnya,” tandasnya.