Pemerintah Lepas Tanggung Jawab?
Dalam aspek isi atau materi, berdasarkan kajian P2G, banyak pasal yang tertukar antara konsep “hak warga negara” dengan “kewajiban negara”. Misalnya Pasal 12, ada ketentuan “masyarakat wajib” memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentu termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya. Padahal, seharusnya masyarakat "berhak."
Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab terkhusus dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri, “Lebih menyedihkan, pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada 'pembiayaan dasar', itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu (Pasal 80 ayat 1-3). Pasal ini jelas sekali membuka ruang diskriminasi pendidikan, padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif (Pasal 5). Tampak antara pasal bersifat kontradiktif,” ujarnya.
Kemudian, soal Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dasar argumentasi perubahan 8 SNP (berlaku sampai sekarang) menjadi 3 SNP, menurut Iman perlu dipertanyakan. Landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas sangat lemah karena cuma merujuk satu riset sangat terbatas oleh satu lembaga saja, penelitian terbatas di 3 daerah: kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen (halaman 160-163). Padahal Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh.
"Kajian naskah akademik RUU Sisdiknas tidak merepresentasikan ragam konteks geografis dan demografis Indonesia, terkesan Jawa-Sumatera sentris, tidak relevan dan kontekstual, tentu tak layak dijadikan sumber referensi. Nasmik yang miskin literatur dan referensi tak patut dijadikan dasar," tutur Iman.
Selain itu, P2G tetap berharap agar mata pelajaran Sejarah masuk dalam ‘muatan wajib’ dan ‘mata pelajaran wajib’ dalam struktur kurikulum nasional. Artinya Pasal 93 mesti direvisi.
“Masa Bahasa Asing masuk muatan wajib, pelajaran Sejarah tidak, hanya dijadikan pelajaran pilihan, ini kan aneh?” cetus Iman yang mengajar Sejarah itu.
Komersalisasi Pendidikan
Keempat, hal yang cukup mengganjal dalam Pasal 105, ada ketentuan lembaga mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa.
“Mengapa ada evaluasi siswa oleh lembaga mandiri? Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru (sekolah) dan Kemdikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN) dulu yang merugikan siswa termasuk guru.”
P2G khawatir evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian, bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta.
Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui Sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut (Pasal 105 ayat 3-4).
Pasal tersebut akan melahirkan bisnis atau komersalisasi pendidikan yang difasilitasi negara. Bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi praktik kolusi antara lembaga swasta dengan pemerintah, jelas sangat memilukan, ujar Iman.
Praktik bisnis pendidikan model begini merusak ekosistem sekolah karena menciptakan persaingan bisnis di luar konteks pembelajaran. Bukannya memperbaiki kualitas asesmen dalam kelas, Kemdikbudristek malah mengundang pihak luar untuk mengintervensi hasil belajar.
Hasilnya, para siswa akan terbebani banyak format ujian sebagaimana pada masa ujan nasional (UN), bedanya ini dikerjakan oleh pihak swasta.
Bagi P2G menilai, justru evaluasi sistem atau program oleh Lembaga Mandiri eksternal penting bagi Kemdikbudristek. Seperti Evaluasi Program Sekolah Penggerak, Evaluasi Program Guru Penggerak, dan Evaluasi Kurikulum Merdeka, dan kebijakan pendidikan lain.
"Jangan logikanya dibolak-balik. Siswa dievaluasi lembaga mandiri eskternal, sedangkan Kemdikbudristek tidak, ini kan menggelikan," tegasnya.
Selain itu, Iman mengutarakan, P2G meminta RUU Sisdiknas menambahkan bab dan pasal khusus membahas Desain Pendidikan di Masa Katastrofe. Belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun berlangung, harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetap resilience dalam segala kondisi kedaruratan bahkan bencana besar.
“Jangan seperti sekarang di masa bencana, kebijakan pendidikan termasuk persekolahan yang dilakukan Kemendikbduristek lebih terasa tambal sulam, tanpa arah, pendekatan parsial, tidak sistemik dan fundamental. Akibat dari kondisi pembelajaran di masa pandemi ini melahirkan “learning loss” yang faktanya diakui Kemdikbudristek sendiri. Makanya diperlukan landasan selevel UU sebagai pedoman penanggulangannya,” paparnya.