Bisnis.com, JAKARTA - Upaya perampasan aset dalam kasus tindak pidana korupsi masih sulit dilakukan karena Indonesia belum memiliki payung hukum yang cukup. Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana masih mandeg dan belum ada kelanjutannya.
Analis Hukum Senior Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ferti Srikandi Sumathi mengatakan bahwa landasan hukum diperlukan dalam perampasan aset karena ada hasil tindak pidana yang sulit dibuktikan dalam penguasaan tersangka hingga tersangka meninggal.
"Jika tersangka meninggal ini menjadi sulit, akhirnya seringkali asset recovery menjadi status quo sehingga tidak dapat ditindak dengan proses perampasan aset oleh negara. Ini jadi urgensi perlu adanya regulasi nasional mengenai non-conviction base," kata Ferti dalam sebuah webinar side event C20, dikutip dari YouTube Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Selasa (8/3/2022).
Menurutnya, kendala dalam perampasan aset dapat diselesaikan jika RUU Perampasan Aset telah disahkan.
Adapun, RUU Perampasan Aset sudah diinsiasi PPATK sejak 2008 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) dan konsep nonconviction Based Forfeiture dari negara-negara commonlaw.
Lebih lanjut, Ferti menyampaikan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana asal dengan risiko tertinggi untuk dilakukan pencucian uang yakni dengan skor 9 atau maksimal.
"Nilainya sangat sempurna, dari tingkat ancamaan, kerentanannya juga tinggi dan jika terjadi pencucian uang dampaknya juga tinggi sehingga korupsi harus jadi atensi bagi Indonesia agar relokasi dari sumber daya, kebijakan, komitmen harus berujung pada pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi," ungkapnya.