Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wacana Pemilu Ditunda, Pengamat: Demokrasi dalam Keadaan Bahaya

Demokrasi di Indonesia tengah dalam keadaan bahaya seiring mencuatnya ide penundaan pemilu 2024.
Pemilu 2024./Antara
Pemilu 2024./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tengah dalam keadaan bahaya seiring mencuatnya ide penundaan pemilu 2024.

Menurutnya, demokrasi adalah satu satunya produk dari reformasi. Penundaan pemilu menurutnya bukan langkah bijak dan bisa mengkerdilkan nilai demokrasi.

“Sekarang demokrasi dalam keadaan bahaya, alarm demokrasi bunyi. Setelah Komisi Pemilihan Umum resmi menerbitkan surat keputusan tentang hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024, pada saat yang sama tiba-tiba secara sistematis keluar statement para ketua umum partai koalisi Golkar, PKB dan PAN. tonenya sama, menginginkan agar jadwal pemilu ditunda,” katanya melalui keterangan pers, Senin (7/2/2022).

Pangi pun mempertanyakan apakah ini fenomena alamiah. Lalu siapa operator politik yang mendesain hingga dalangnya.

Legitimasi rakyat, tambahnya, adalah daya tahan rezim berkuasa. Tidak ada rezim yang dapat bertahan tanpa legitimasi rakyat.

Jika rakyat menolak penundaan pemilu dan menolak penambahan masa jabatan presiden, itu sebetulnya sama dengan vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh. Mengabaikannya adalah alarm bagi pemerintah yang berkuasa.

“Penambahan masa jabatan presiden atau menundanya membutuhkan legitimasi dukungan atau paling tidak persetujuan tanpa protes. Apakah menunda dan menambah masa jabatan presiden mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia?” tanyanya.

Berdasarkan survei Juli 2021, Voxpol memotret fenomena penolakan masyarakat dengan wacana cek ombak tersebut. Sebesar 73,7 persen responden menjawab tidak setuju ide presiden tiga periode.

Jika didalami lagi, Pangi menuturkan bahwa dari 73,7 persen yang tadinya menolak perpanjangan masa jabatan presiden, 34,4 persen beralasan kemunduran demokrasi. Lalu, 28,2 persen regenerasi kepemimpinan mandeg; 9,9 persen menghindari KKN dan oligarki; 8,7 persen tidak mau menjadi pengkhianat demokrasi; dan 4,6 persen ingin menjebak presiden.

“SBY [Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia keenam] di akhir periode kedua pemerintahannya mengatakan selalu ada pilihan mari kita wariskan kepada anak cucu kita dan generasi mendatang sebuah tatanan dan tradisi politik yang baik. Berkuasa adalah candu, akan tetapi jauh lebih berkelas mengakhiri masa jabatan presiden dengan happy ending,” jelas Pangi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper