Bisnis.com, JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai penggunaan neraca komoditas dapat meningkatkan efektivitas birokrasi perdagangan Indonesia karena sistem ini terintegrasi dengan data dan proses perizinan.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan sistem ini diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah yang ada dalam administrasi ekspor impor. Namun, jika tidak disertai dengan pemahaman soal kompleksitas rantai pasok, neraca komoditas bisa malah membawa masalah baru.
“Sistem perizinan perdagangan Indonesia memiliki banyak masalah, antara lain proses yang panjang, kurangnya transparansi, dan kualitas data yang buruk. Penggunaan neraca komoditas merupakan bagian dari implementasi UU Cipta Kerja 2020 yang bertujuan menghilangkan hambatan untuk investasi dan perdagangan,” tuturnya, lewat rilisnya, Minggu (9/1/2022).
Neraca komoditas adalah rangkaian basis data nasional yang terintegrasi dengan penawaran dan permintaan barang yang diperdagangkan untuk kebutuhan masyarakat dan industri di Tanah Air.
Basis data ini juga akan digunakan untuk mengidentifikasi kekurangan atau kelebihan produksi dalam negeri sehingga izin impor dan izin ekspor diharapkan dapat diterbitkan sesuai kebutuhan.
Neraca komoditas juga ditujukan untuk memastikan produsen lokal dapat mengakses bahan baku dan bahan setengah jadi dan memberikan peran pada pasar domestik dalam penentuan impor dan ekspor.
Baca Juga
Untuk tujuan ini, dia menilai impor akan diizinkan jika ada defisit dalam produksi dalam negeri. Sementara ekspor akan diizinkan dalam kasus surplus.
“Implementasi neraca komoditas akan memotong satu langkah dari proses perizinan dan mengurangi peluang korupsi. Sistem ini juga akan memudahkan proses transparansi dan berpotensi mengurangi celah korupsi,” katanya.
Namun, implementasi neraca komoditas dihadapkan pada banyak tantangan, seperti pengumpulan data konsumsi dan produksi di tingkat perusahaan, konsumen, produk, industri, dan nasional. Tantangan lainnya adalah estimasi dan pemetaan dampak data ini pada rantai nilai industri dan jaringan produksi global.
Krisna menjelaskan, sistem yang ada tidak hanya diganggu oleh kesulitan-kesulitan ini tetapi juga oleh ketidaksepakatan antara kementerian yang mengumpulkan data tentang data mana yang harus digunakan.
Data yang dikumpulkan juga merupakan kuantitas produksi dan konsumsi yang disederhanakan yang cenderung mengabaikan masalah seperti kualitas, kemudahan servis, dan kemampuan pengiriman. Sementara perselisihan data antar kementerian dapat dikurangi, perselisihan data antar perusahaan lebih sulit untuk ditangani.
Sejauh ini, neraca komoditas akan diluncurkan untuk melacak lima komoditas, yaitu beras, garam, gula, daging sapi, dan produk perikanan. Namun, penerapan kepada lebih banyak produk di 2023 akan meningkatkan level kompleksitas penerapan Neraca Komoditas
“Kita ambil contoh baja. Baja memiliki banyak karakteristik teknis yang sangat beragam dan seringkali didesain khusus untuk produk tertentu. Dampaknya akan sangat besar terhadap industri hilir andalan Indonesia seperti otomotif dan elektronika,” urainya.
Krisna mengapresiasi inisiatif pengumpulan data yang lebih baik untuk mewujudkan basis data perdagangan Indonesia yang akan bermanfaat untuk analisis data dan studi berbasis bukti yang lebih baik dalam rangka penyusunan kebijakan. Namun menggunakan data tersebut secara terburu-buru malah berpotensi meningkatkan ketidakpastian dalam berusaha, terutama usaha industri yang terintegrasi dengan rantai pasok global.
“Seiring transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi yang lebih kompleks, perdagangan internasional pun akan menjadi semakin kompleks. Kami berharap agar neraca komoditas tidak memberikan ilusi bahwa mengontrol industri dan perdagangan adalah sesuatu yang mudah dilakukan,” ujarnya.