Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko membeberkan permasalahan yang membuat kondisi riset di Tanah Air jalan di tempat.
“Pada saat almarhum Pak Habibie masih hidup pun, memang ada sesuatu yang wrong di manajemen riset kita, sehingga kita tidak beranjak ke mana-mana. Daya riset kita tidak tumbuh,” kata Laksana Tri Handoko dalam acara Dialog Pemred Bersama Kepala BRIN dengan tema Solusi Fundamental Penguatan Riset dan Inovasi yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (4/1/2022) malam.
Dia menjelaskan bahwa persoalan riset di Indonesia, di antaranya disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam melakukan riset. Riset yang dilakukan pemerintah pun hanya yang berskala kecil, dan banyak tersebar di berbagai kementerian/lembaga.
“Riset kita itu 80 persen pemerintah, dan 20 persen non-pemerintah. Padahal riset itu tidak boleh dominan pemerintah,” ujarnya.
Masalah lainnya, kata dia, adalah sedikitnya lembaga riset swasta dan sumber daya manusia (SDM) periset.
“Lembaga riset harus banyak, periset harus banyak. Lembaga riset pemerintah itu harusnya sedikit saja, satu atau dua aja. Yang banyak itu harusnya non-pemerintah, kalau standar UNESCO 80 persen itu non-pemerintah, pemerintah riset itu yang tidak laku saja,” ucapnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk mengurangi lembaga riset di pemerintahan, serta mendorong agar lebih banyak periset dan lembaga riset swasta berdiri di Indonesia.
Dia mencontohkan pada era 1970-an, Malaysia dan Thailand banyak belajar mengenai riset kepada Indonesia. Namun, saat ini justru Indonesia yang belajar kepada dua negara tersebut.
“Kita bandingkan saja dengan Malaysia dan Thailand. Pada tahun 70-an dia [Malaysia, Thailand] banyak belajar ke kita, kemudian sekarang, kita ke sana. Bahkan dosen kita ya, bukan hanya di kampus yang kecil-kecil, dosen UI, dosen ITB banyak yang ambil S2 dan S3 di Malaysia. Para menteri juga banyak yang kuliah di sana. Jadi sesuatu yang kita sadari bahwa kita ini ada something wrong,” ucapnya.