Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa pekan setelah kapal perang mereka berlayar di sekitar pulau utama Jepang, militer China dan Rusia mengirim pesawat pengebom ke zona pertahanan udara Jepang dan Korea Selatan.
Aktivitas itu memaksa Seoul untuk mengerahkan sejumlah jet tempurnya sebagai tanggapan.
Di Tokyo, Menteri Pertahanan Jepang Kishi Nobuo, bertemu wartawan dan menyatakan "keprihatinan besar" atas patroli bersama tersebut yang berlangsung pekan lalu.
Dia mengatakan, langkah Beijing dan Moskow jelas menunjukkan bahwa "situasi keamanan di sekitar Jepang tumbuh lebih parah".
Saat pejabat Jepang itu berbicara soal ancaman itu, para petinggi China dan Rusia mengadakan pembicaraan virtual. Keduanya saling memuji latihan udara dan angkatan laut sebagai “peristiwa besar”.
Kedua negara kemudian menandatangani pakta baru untuk lebih memperdalam hubungan pertahanan.
Peta jalan tersebut, yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan mitranya dari China, Wei Fenghe, menandai satu tahun pertumbuhan kerja sama militer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kerja sama itu termasuk latihan perang skala besar di Ningxia China pada bulan Agustus lalu ketika pasukan Rusia menjadi pasukan asing pertama yang bergabung dengan latihan reguler China.
Tidak itu saja, kedua negara sepakat mengembangkan helikopter militer, sistem peringatan serangan rudal, dan bahkan stasiun penelitian di bulan.
“Ini adalah hubungan terkuat, terdekat, dan terbaik yang dimiliki kedua negara setidaknya sejak pertengahan 1950-an. Dan mungkin selamanya,” kata Nigel Gould-Davies, pengamat soal Rusia dan Eurasia di Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) seperti dikutip Aljazeera.com, Kamis (25/11/2021).
Perlu dicatat bahwa hubungan China-Rusia secara historis ditandai oleh kewaspadaan bersama, termasuk konflik perbatasan pada 1960-an yang mendorong Beijing dan Moskow ke ambang perang nuklir.
Gould-Davies menjelaskan bahwa keadaan saat ini “luar biasa” dan hubungan kedua negara telah "berkembang sangat pesat dalam 10 tahun terakhir."
Hubungan mereka kian mesra terutama setelah sanksi negara Barat jatuh atas Rusia akibat aneksasi Krimea pada tahun 2014.
Bukan hanya pada sektor pertahanan saja keduanya bergerak lebih dekat, tetapi juga di bidang diplomatik dan ekonomi.
Pada bidang kebijakan luar negeri, Beijing dan Moskow berbagi pendekatan serupa ke Iran, Suriah dan Venezuela. Bahkan, baru-baru ini keduanya menghidupkan kembali dorongan untuk mencabut sanksi PBB terhadap Korea Utara.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin juga memiliki hubungan pribadi setelah bertemu lebih dari 30 kali sejak 2013. Pemimpin China itu bahkan menyebut Putin sebagai “kameradnya”.
Pada sisi lain, untuk China, Rusia adalah pemasok terbesar senjatanya dan sumber impor minyak terbesar kedua.
Sedangkan bagi Rusia, China adalah mitra dagang negara utamanya dan sumber utama investasi dalam proyek energinya.
Salah satunya adalah pabrik LNG Yamal di Lingkaran Arktik dan pipa Power of Siberia selain proyek gas senilai US$55 miliar atau yang terbesar dalam sejarah Rusia.
Gould-Davies mengatakan pendorong utama di balik semua ini adalah permusuhan China dan Rusia atas nilai-nilai demokrasi liberal yang dianut negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS).
“Kedua negara diperintah oleh rezim anti-demokrasi yang memiliki kepentingan bersama yang kuat dalam melawan pengaruh nilai-nilai Barat liberal di negara mereka sendiri,” katanya kepada Aljazeera.
Di samping itu, mereka juga memiliki kepentingan bersama yang kuat dalam “mengganggu” negara dan aliansi di luar perbatasan mereka sendiri yang mewujudkan nilai-nilai liberal.
Jadi, kepentingan bersama utama mereka adalah kepentingan ideologis sehingga mereka berusaha untuk melemahkan Barat yang demokratis dan liberal.