Bisnis.com, JAKARTA - Para ilmuwan mengatakan varian Covid baru yang membawa "jumlah mutasi sangat tinggi" dapat mendorong gelombang penyakit yang bisa menghindar dari sistem pertahanan tubuh.
Saat ini sudah 10 kasus di tiga negara telah dikonfirmasi oleh sekuensing genomik. Akan tetapi tetapi varian tersebut telah memicu kekhawatiran serius di antara beberapa peneliti karena sejumlah mutasi dapat membantu virus menghindari kekebalan tubuh.
Varian B.1.1.529 memiliki 32 mutasi pada protein lonjakan, bagian dari virus yang digunakan sebagian besar vaksin untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh melawan Covid. Mutasi pada protein lonjakan dapat memengaruhi kemampuan virus untuk menginfeksi sel dan menyebar, tetapi juga mempersulit sel kekebalan untuk menyerang patogen.
Varian itu pertama kali terlihat di Botswana dan tiga kasus kini telah dilacak. Enam lainnya telah dikonfirmasi di Afrika Selatan, dan satu di Hong Kong pada seorang pelancong yang kembali dari Afrika Selatan.
Tom Peacock, ahli virologi di Imperial College London yang memposting rincian varian baru di situs berbagi genom, mencatat bahwa “jumlah mutasi lonjakan yang sangat tinggi menunjukkan kasus itu menjadi perhatian nyata."
Dalam serangkaian cuitannya, Peacock mengatakan, "Sangat, sangat banyak yang harus dipantau karena profil lonjakan yang mengerikan itu," Peacock menambahkan bahwa hal itu mungkin berubah menjadi "klaster aneh" yang tidak terlalu menular. "Saya harap itu masalahnya," tulisnya seperti dikutip The Guardian.com Kamis (25/11).
Meera Chand, direktur insiden Covid-19 di Badan Keamanan Kesehatan Inggris, mengatakan bahwa dalam kemitraan dengan badan ilmiah di seluruh dunia, badan tersebut terus memantau status varian Sars-CoV-2 saat muncul dan berkembang di seluruh dunia.
“Karena sifat virus sering bermutasi dan acak, tidak jarang sejumlah kecil kasus muncul dengan serangkaian mutasi baru. Setiap varian yang menunjukkan bukti penyebaran dinilai dengan cepat,” katanya.
Kasus pertama dari varian itu dikumpulkan di Botswana pada 11 November dan yang paling awal di Afrika Selatan dicatat tiga hari kemudian.
Sedangkan kasus yang ditemukan di Hong Kong adalah seorang pria berusia 36 tahun yang memiliki tes PCR negatif sebelum terbang dari Hong Kong ke Afrika Selatan, tempat dia tinggal dari 22 Oktober hingga 11 November. Dia dites negatif saat kembali ke Hong Kong, tetapi dites positif pada 13 November saat dikarantina.