Bisnis.com, JAKARTA- Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengancam eksistensi produk Industri Hasil Tembakau (IHT) dinilai sarat kepentingan pencitraan, karena tidak menjawab persoalan mendesak seperti pemulihan ekonomi imbas pandemi Covid-19 maupun kesejahteraan masyarakat.
Seruan Gubernur DKI Jakarta No. 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok masih mengundang banyak kritik. Salah satu poin utama seruan ini adalah larangan memasang reklame dan display rokok, termasuk juga memajang kemasan produk rokok di tempat berniaga. Kebijakan penindakan juga telah dilakukan oleh pemerintah kota Jakarta Barat dengan menutup stiker, poster, sampai menutup rak pajangan produk rokok.
Pakar Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengungkapkan kebijakan Anies Baswedan tidak memiliki urgensi apapun. Terlebih, kebijakan berupa seruan itu sesungguhnya tidak mengikat, karena serupa layaknya himbauan yang tidak perlu ditaati.
“Seruan gubernur nomor tidak ada urgensinya. Seruan itu juga bukan peraturan yang mengikat, sehingga tidak perlu ditaati, jadi untuk apa?” ungkapnya beberapa waktu lalu.
Persoalannya, terbitnya Seruan Gubernur itu telah memicu polemik dan keresahan masyarakat khususnya mereka yang bergantung dalam rantai industri IHT. “Kalau hanya mengundang keresahan masyarakat dan tidak menjawab persoalan yang tengah dihadapi, maka terbitnya aturan itu sangat bisa disinyalir sebagai upaya pencitraan semata, atau ada dorongan dari pihak-pihak tertentu yang anti tembakau,” jelas Trubus.
Menurutnya, kehadiran Sergub No. 8/2021 mencerminkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak sensitif terhadap kondisi riil masyarakat. Di tengah upaya pemulihan ekonomi, kata Trubus, justru mengeluarkan kebijakan yang mengancam pedagang eceran, industri tembakau, hingga petani.
“Ini menyusahkan baik pemerintah pusat yang tengah melakukan pemulihan, maupun nasib masyarakat kecil. Padahal Pemprov juga tidak punya strategi atau opsi lain pengganti pendapatan dari perdagangan IHT,” ungkapnya.
Di lain sisi, kebijakan IHT secara makro juga disorot Trubus. Menurutnya, ada sikap paradoksal antara ingin menikmati cukai yang tinggi, tetapi mencekik keberadaan produk IHT.
“Nasib petani tembakau semakin susah, namun mobilitas produk terus dipersempit, begitupun kebijakan dari SMI [Menteri Keuangan Sri Mulyani], yang maunya terus menerus menaikkan cukai tapi tidak memberikan pembinaan dan pengembangan petani secara maksimal,” simpul Trubus.
Dia mengungkapkan Sergub No. 8/2021 layak ditinjau ulang. “Atau bahkan dicabut saja, tetapi sepertinya Gubernur akan mempertahankan karena toh sudah di akhir masa jabatan, ini untuk eksistensi dirinya saja,” tutup Trubus.
Senada, Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengatakan kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak beralasan. Kebijakan tersebut dia nilai memperlakukan produk IHT sebagai barang ilegal.
“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” kata Tutum.
Menurutnya, larangan menampilkan produk IHT dan zat adiktif akan menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal.
Selain itu, Sergub juga bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang menyatakan bahwa produk rokok yang sah dan secara legal mendapatkan kepastian untuk dijual jika sudah memenuhi ketentuan yang diatur seperti kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan rentetan aturan lainnya.
“Kami juga tidak sembarangan menjual di mana saja, harus jauh dari tempat ibadah dan jangkauan anak-anak,” kata Tutum. Dia juga menyayangkan seruan ini dikeluarkan tanpa sosialisasi, sehingga banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini.
Tutum juga berharap kebijakan ini dicabut karena bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar