Bisnis.com, JAKARTA - Financial Action Task Force (FATF) mengungkap praktik lancung para mafia tambang dan pelaku perusakan lingkungan dalam mencuci uang hasil kejahatanya.
Dalam kajian yang berjudul "Money Laundering From Enviromental Crime", lembaga anti pencucian uang global itu menyebut kejahatan sektor lingkungan telah menghasilkan pendapatan sebanyak US$110 sampai dengan US$281 miliar atau ebih dari Rp4.000 triliun kurs Rp14.271,9 per dolar Amerika Serikat, setiap tahunnya.
Menariknya, studi FATF menegaskan bahwa pelaku kejahatan lingkungan sering mengandalkan sektor padat uang (sering dikaitkan ke sektor ekspor) dan penipuan berbasis perdagangan untuk mencuci hasil dari kejahatan lingkungan.
Dalam kasus pembalakan liar dan penambangan liar, misalnya, sejumlah negara telah mengidentifikasi ketergantungan para pelaku kejahatan dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
Modus transaksinya biasanya melibatkan pihak ketiga dan perantara (pengacara) untuk menyembunyikan pembayaran dan pencucian keuntungan.
FATF juga mengendus adanya peran pusat keuangan regional yang terletak di seluruh wilayah dunia. Mereka memainkan peran penting dalam menyediakan dana dan mencuci hasil uang dari hasil kejahatan tersebut.
Baca Juga
"Mereka juga dapat bertindak sebagai perantara perdagangan untuk memfasilitasi kedatangan, terutama untuk barang tambang," tukasnya.
Adapun dalam konteks Indonesia, Bisnis telah mengungkap bahwa praktik ekonomi ilegal, termasuk kejahatan lingkungan, telah menekan kinerja perekonomian Indonesia. BPS menyebut bahwa besaran shadow economy di Indonesia berada di kisaran 8 persen sampai 10 persen dari produk domestik bruto.
Sementara PPATK menganggap angka BPS itu sangat konservatif, karena jika mengacu ke kejian sejumlah lembaga internasional, nilai atau besaran ekonomi ilegal mencapai 30 persen sampai 40 persen dari PDB.