Bisnis.com, JAKARTA -- Negara berpotensi kehilangan ratusan triliun dari potensi penerimaan negara akibat besarnya porsi praktik shadow economy atau ekonomi ilegal.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat besarnya shadow economy di negara berkembang, termasuk Indonesia, berada di kisaran 30 persen sampai dengan 40 persen dari produk domestik bruto.
Itu artinya, jika menghitung berdasarkan PDB tahun 2020 yang mencapai Rp15.434,2 triliun, nilai ekonomi ilegal di Indonesia mencapai Rp4.630,2 triliun sampai dengan Rp6.173,6 triliun.
Sementara jika angka itu diasumsikan sebagai transaksi barang yang seharusnya dikenakan pajak konsumsi senilai 10 persen, ada sekitar Rp463 triliun sampai dengan Rp617,3 triliun potensi pajak yang tak dipungut pemerintah.
Namun jika mempersepsikan angka itu sebagai bagian dari penghasilan sebuah perusahaan, seharusnya minimal ada Rp900-an triliun uang mengalir ke kantong pemerintah.
Angka itu diperoleh dengan asumsi tarif yang dikenakan adalah 20 persen. Sama seperti tarif PPh badan rancangan pemerintah.
Baca Juga
Adapun, beberapa waktu lalu, PPATK juga telah mengidentifikasi transaksi jumbo di 500.000 rekening yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Menariknya, ratusan transaksi itu diduga terjadi seiring meningkatnya praktik shadow economy atau aktivitas ekonomi ilegal.
Rekening-rekening tersebut berhasil diidentifikasi berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh lembaga intelijen keuangan selama Semester 1/2021.
“PPATK bersama Ditjen Pajak menemukan adanya 500.000 rekening [tersebut],” demikian dikutip dari publikasi PPATK, Senin (23/8/2021).
Shadow economy saat ini menjadi konsentrasi oleh sejumlah otoritas pajak global. Pasalnya, sektor ini cukup sulit dijamah oleh kebijakan pajak.
Meningkatnya aktivitas ekonomi digital dan ketidakjelasan regulasi menjadikan praktik shadow economy, penghindaran pajak, dan pencucian uang makin tak terkendali.
Adapun, terkait hal itu, PPATK telah bekerja sama dengan Ditjen Pajak untuk mengidentifikasi praktik tersebut melalui perluasan data penyedia jasa keuangan.
Selain itu, lembaga intelijen keuangan juga bekerja sama dengan Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik dalam mengungkap praktik trade-based money laundering (pencucian uang).
Pengungkapan trade-based money laundering juga dilakukan dengan penyedia jasa keuangan khususnya yang melakukan pemantauan transaksi pembayaran para eksportir dan importir.