Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) 5/2020 turut menyimpan sejumlah pasal karet yang rawan memunculkan multitafsir.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyebutkan aturan ini merupakan turunan dari PP Nomor 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang juga turunan dari UU ITE sehingga implementasinya harus diwaspadai
“Sama halnya dengan UU ITE yang memiliki beberapa pasal karet, Permenkominfo ini juga tidak luput dari dilema. Khususnya yang berkaitan dengan moderasi konten,” katanya lewat rilisnya, Minggu (12/9/2021).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa secara spesifik berkenaan dengan salah satu jenis konten yang dilarang seperti yang tercantum pada Pasal 9 ayat (4) poin b.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.
Menurutnya, poin ini rentan terhadap multi-interpretasi. Apalagi mengingat absennya aspek hukum yang adil atau due process pada aturan tersebut yang mencakup salah satunya ialah mekanisme banding.
Dia melanjutkan, dalam konteks hukum, due process kerap digunakan untuk menekankan bahwa prosedur dalam membuat putusan harus konsisten, adil, independen, dan transparan.
Hal ini yang masih belum tampak pada aturan moderasi konten di Indonesia yang ada saat ini. Untuk itu, sejalan dengan hasil penelitian CIPS, Permenkominfo ini perlu direvisi dan memasukkan aspek due process dengan menerapkan pendekatan pengaturan bersama atau koregulasi.
Selain itu, dia mengatakan penetrasi teknologi digital yang terus meningkat memungkinkan adanya pertukaran informasi antarpengguna menjadi semakin cepat, terutama pada layanan digital atau platform yang berbasis user-generated content (UGC) seperti media sosial dan juga blog.
Berdasarkan data BPS pada 2019, 87 persen pengguna internet di Indonesia mengakses media sosial. Sebagai gambaran, per Januari 2021, tercatat setidaknya 170 juta orang Indonesia atau setara dengan setengah dari total populasi merupakan pengguna aktif media sosial.
Dia menilai, jika dilihat dari persentase orang dewasa yang menggunakan platformnya, YouTube memimpin dengan 94 persen kemudian diikuti oleh WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Twitter dengan masing-masing 88 persen, 87 persen, 86 persen, dan 64 persen.
“Akses terhadap media sosial tersebut mayoritas tidak berbayar sehingga memungkinkan bagi para penggunanya untuk memanfaatkan layanan digital tersebut sebagai sarana memperoleh informasi, komunikasi, hingga hiburan,” imbuhnya.
Menurutnya, disadari atau tidak, konten yang diunggah oleh pengguna ini jumlahnya sangat besar setiap harinya. Walaupun banyak manfaat yang dapat dirasakan, tetapi tidak sedikit juga risiko yang dapat ditimbulkan oleh konten-konten digital tanpa adanya moderasi konten.