Reaksi Partai Demokrat
Berbeda dari Sultan, politisi Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyatakan menolak amendemen UUD 1945, karena masih banyak yang harus dikerjakan bangsa ini di tengah pandemi Covid-19 yang masih mendera.
Dikatakan, selama ini arah pembangunan negara sudah diatur lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
Produk legislasi itu mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Sejak awal kami tidak setuju dengan amendemen atas UUD 1945. Saya setuju kalau soal PPHN cukup diatur dalam undang-undang saja sehingga tak perlu amendemen konstitusi,” ujarnya.
Senada dengan Pangi, Syarief juga khawatir amendemen hanya akan menjadi pintu masuk sehingga bisa melebar ke sejumlah pasal seperti soal masa jabatan presiden.
Lain lagi pendapat politisi PPP Arsul Sani. Dalam sebuah diskusi bersama Syarief Hasan dan Pangi Syarwi Chaniago di Gedung Parlemen pada Senin (6/9/2021), Arsul mengaku tidak yakin amendemen akan benar-benar dilakukan sekalipun untuk memasukkan kewenangan MPR membuat PPHN.
Apalagi, katanya, hingga kini pihaknya belum mengetahui sejauh mana persiapan dan pembahasan PPHN.
Selan itu, ujarnya, dari sisi waktu yang tersedia suduah mepet. Menurutnya, mulai tahun depan persiapan pemliu presiden untuk 2024 sudah dimulai, sehingga banyak anggota DPR dan politis yang tidak konsentrasi untuk memikirkan amendemen.
“Saya pribadi yakin tidak akan ada amendemen, apalagi sampai perubahan masa jabatan presiden karena langkah itu butuh pesrsiapan matang dan dari sisi waktu yang tesedia sudah mepet,” katanya.
Terlepas dari opini pro dan kontra dari para politisi dan pengamat politik terkait wacana amendemen atas UUD 1945, ternyata banyak hasil survei yang menunjukkan rakyat tidak ingin ada perpanjangan masa jabatan presiden. Salah satunya yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC).
Dalam survei itu terpetakan, 74 persen publik menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Artinya, tetap dua periode saja, tidak diperlukan perubahan UUD 1945. Hanya 13 persen yang menyatakan bahwa jabatan presiden perlu diubah.
Karena itulah, hingga kini masih sulit untuk menebak arah dan dinamika politik terkait wacana amendemen UUD 1945, meski pada tahun depan persiapan untuk Pilpres 2024 sudah dimulai. Karena itulah, teori Lord Acton soal kekuasaan absout dan penyalahgunaan kekuasaan akan kembali diuji.