Cermat Berhitung
Realitas internal dan eksternal ini memaksa Taliban cermat berhitung. Apalagi, semua negara tak mau kekacauan yang bisa terjadi di Afghanistan membuat repot mereka, termasuk masalah banjir pengungsi.
Negara-negara itu, seperti halnya Barat, PBB dan banyak negara lainnya di dunia ini, juga tak ingin Afghanistan kembali menjadi tempat bernaung kelompok-kelompok teror seperti Alqaeda dan apalagi ISIS.
China bahkan tak mau Afghanistan dimanfaatkan gerakan separatisme di Xinjiang. Kekhawatiran sama dipendam India yang walau tak berbatasan langsung, namun secara geografis dekat dengan Afghanistan.
India tak mau kelompok-kelompok ekstremis yang berbasis di Pakistan seperti Lashkar-e-Tayyiba memindahkan basis atau mendekat ke Afghanistan.
Hal lain yang memaksa Taliban pragmatis adalah dalam kerangka membangun ekonomi Afghanistan yang menurut Bank Dunia pada 2018 menghabiskan anggaran US$11 miliar (Rp158 triliun) yang 80 persen di antaranya berasal dari bantuan luar negeri.
Menurut laporan PBB pada Juni 2021, Taliban membiayai dirinya dari produksi opium, perdagangan narkotika, dan penculikan bertebusan yang total memberikan US$300 juta sampai US$1,6 miliar (Rp4,3 triliun – Rp23 triliun) per tahun kepada Taliban.
Menepis soal itu, Zabihullah Mujahid memastikan Afghanistan akan bebas dari narkotika. Tapi, dia meminta komunitas internasional membantu petani Afghanistan agar tak lagi tergantung kepada menanam opium.
Dari sini terlihat, menghadapi realitas internal dan eksternal yang dulu tak begitu dipedulikan, Taliban berusaha menempuh kompromi demi rekonstruksi Afghanistan.
Apalagi AS seperti dilaporkan AFP, bersumpah tak akan membiarkan Taliban mengakses rekening-rekening AS yang dipakai untuk menyimpan cadangan devisa bank sentral Afghanistan. IMF menaksir cadangan devisa ini mencapai US$9,4 miliar (Rp135 triliun).
Ini membuat Taliban dipaksa mencari alternatif. China menjadi kemungkinan terbesar yang paling ingin digandeng Taliban, kendati Arab Saudi dan Qatar tak bisa dikesampingkan.