Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impian AS Kembalikan Perjanjian Nuklir dengan Iran Semakin Suram

Iran tampaknya telah menemukan cara untuk menghadapi sanksi dari AS dan mempercepat produksi bom.
Bendera Iran/Reuters
Bendera Iran/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat di bawah pimpinan Joe Biden tengah menghadapi kenyataan pahit setelah upaya mengembalikan perjanjian nuklir dengan Iran tampak tidak memungkinkan.

Pasalnya, Republik Islam tersebut telah menemukan cara untuk menghadapi sanksi dari AS dan mempercepat produksi bom.

Dilansir Bloomberg, Senin (9/8/2021), seorang pejabat AS yang terlibat dalam negosiasi mengatakan tengah mempertimbangkan pilihan setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dengan Iran.

AS bersedia mempertimbangkan alternatif, termasuk langkah sementara keringanan sanksi terbatas sebagai imbalan atas pembekuan kerja nuklir Iran yang paling provokatif, kata mereka.

Hal tersebut merupakan dampak dari meningkatnya ketegangan setelah pemilihan presiden 2021 yang dimenangkan oleh Ebrahim Raisi, seorang yang anti barat dan sekutu kuat dari Ayatollah Ali Khamenei. Dia juga diduga terlibat dalam aksi peluncuran roket ke Israel dengan mendukung Hizbullah dan penyerangan terhadap fasilitas minyak di pesisir Oman.

"Ini tidak bakal mudah, tetapi harapannya kedua belah pihak dapat mengkalkulasi bahwa memulihkan perjanjian ini adalah opsi paling murah. Kedua belah pihak patut disalahkan karena menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Ali Vaez, Direktur Proyek Iran, International Crisis Group.

Jika AS gagal mengembalikan perjanjian ini akan menjadi kemunduran besar bagi Presiden AS Joe Biden yang telah menjadikan pemulihan perjanjian multinasional sebagai prioritas kebijakan luar negerinya. Dia juga gagal untuk melanjutkan rencana di Timur Tengah meskipun ditentang oleh Israel dan bangsa Arab termasuk Arab Saudi dan Bahrain.

Seperti diketahui, mantan Presiden Donald Trump memutuskan keluar dari pakta yang memberlakukan batasan pada program nuklir Iran yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPA) dengan imbalan keringanan sanksi pada 2018.

Namun, pembicaraan di Wina yang sudah berlangsung enam kali sejak Biden menjabat tidak menghasilkan banyak kemajuan. Belum ada rencana lebih lanjut kapan pembicaraan ketujuh akan dimulai.

Sementara itu, program nuklir Iran terus bekerja dengan cepat sehingga membuat AS khawatir produksi bom juga semakin cepat terwujud. Padahal perjanjian tersebut dibuat agar dapat menjaga Iran selama setahun dari produksi nuklir. Kendati demikian, Iran mengatakan tidak punya niatan melakukan hal tersebut.

Ketika pemerintahan Iran sebelumnya memberikan sinyal akan menyelesaikan negosiasi pakta ini sebelum Raisi diangkat, ternyata tidak dapat terwujud. Dalam pidato pelantikannya pada pekan lalu, Raisi mengataka bahwa sanksi terhadap rakyat Iran harus dicabut

"Kami akan mendukung seluruh upaya diplomasi untuk mencapai tujuan ini," katanya. Dia juga memperingatkan soal ancaman campur tangan asing di kawasan.

Pasar ikut terdampak. Pekan lalu, harga minyak turun 7,7 persen, penurunan pekanan terbesar sejak Oktober, karena kekhawatiran atas dampak ekonomi dari varian delta menjadi pusat perhatian.

Namun, ketidakstabilan juga diakibatkan oleh serangan terhadap kapal tanker yang dikelola Israel dan peringatan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz yang menyatakan Israel siap untuk menyerang Iran jika diperlukan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nindya Aldila
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper