Bisnis.com, JAKARTA — Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan moratorium vaksin booster hingga setidaknya akhir September.
Dia mengatakan bahwa pemberian pendorong aktivasi vaksin itu seharusnya dilakukan setelah setidaknya 10 persen dari populasi setiap negara divaksinasi.
Selain itu, dia mengatakan belum terbukti bahwa memberikan suntikan booster kepada orang yang telah menerima dua dosis vaksin efektif. Sementara itu ratusan juta orang masih menunggu dosis pertama mereka.
Dia mengatakan bahwa sejauh ini lebih dari 4 miliar dosis vaksin Covid-19 telah diberikan secara global. Lebih dari 80 persen diberikan ke negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, meskipun jumlah mereka kurang dari setengah populasi dunia.
“WHO menyerukan moratorium booster hingga setidaknya akhir September untuk memungkinkan setidaknya 10 persen dari populasi setiap negara untuk divaksinasi,” kata Tedros seperti dikutip TheGuardian.com, Kamis (5/8/2021).
Dia menambahkan bahwa untuk mewujudkannya, dibutuhkan kerja sama seluruh pihak, terutama segelintir negara dan perusahaan yang mengendalikan pasokan vaksin global.
Pekan lalu, Presiden Israel Isaac Herzog menerima suntikan ketiga vaksin virus Corona. Dia memulai kampanye untuk memberikan dosis booster kepada orang berusia di atas 60 tahun di tengah memudarnya kemanjuran vaksin tersebut.
Selain itu, Prancis, Jerman dan banyak negara Timur Tengah juga mulai memberikan suntikan booster.
Katherine O'Brien, direktur vaksin imunisasi dan biologi di WHO mengatakan bahwa pihaknya masih belum memiliki bukti apakah vaksin booster benar-benar diperlukan atau tidak.
“Buktinya masih berkembang. Kami tidak memiliki bukti lengkap tentang apakah ini diperlukan atau tidak," ujarnya.
Dia mengatakan bahwa kita perlu fokus pada orang-orang yang paling rentan, paling berisiko terkena penyakit parah dan kematian untuk mendapatkan dosis pertama dan kedua.
Awal pekan ini, Helen Clark, mantan perdana menteri Selandia Baru dan salah satu ketua panel Covid yang berpengaruh mengkritik banyak negara maju membeli lebih banyak vaksin daripada yang mereka butuhkan. Sedangkan dalam banyak kasus negara itu hanya mendistribusikan kembali surplus mereka ketika vaksin mendekati kedaluarsa.