Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pakar Ungkap Risiko Jika Sritex Gagal Restrukturisasi Utang

Status pailit Sritex memiliki efek domino bukan hanya dari aspek hukum, tetapi juga aspek sosial di wilayah yang terdampak.
Sritex
Sritex

Bisnis.com, JAKARTA -- Status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex bisa menyeret emiten tekstil itu ke jurang pailit. 

Meski demikian, status pailit Sritex bisa menjadi buah simalakama bagi industri tektil dan produk tekstil Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Tengah.

Untuk diketahui memiliki utang jatuh tempo senilai US$350 juta. Selain itu, salah satu lini usaha milik keluarga konglomerat Lukminto itu juga seharusnya membayar utang jangka menengah atau medium term note (MTN) senilai US$25 juta pada Selasa (18/5/2021)

Praktisi Hukum Kepailitan Andi Simangunsong cukup yakin Sritex akan menggunakan momentum PKPU untuk merestrukturisasi utang kepada para kreditornya. Hanya saja, keberhasilan restrukturisasi Sritex sangat tergantung bagaimana manajemen dan konsultan hukumnya meyakinkan kreditornya.

"Diperlukan kepiawaian dari manajemen,   owner, didampingi oleh konsultannya. Tetapi tidak bisa menang sendiri juga," kata Andi, Selasa (18/5/2021).

Andi menjelaskan proposal perdamaian yang ditawarkan oleh emiten berkode SRIL itu harus bisa diterima oleh kreditor. Sebab, jika proposal itu ternyata hanya menguntungkan satu pihak, tentunya hal ini akan ditolak oleh kreditornya.

Meski demikian, Andi juga menekankan bahwa kreditor juga harus menerapkan prinsip yang sama. Mereka harus melihat kemampuan perseroan dalam memenuhi kewajiban utangnya.

Apalagi dalam sejumlah kasus, tak jarang para kreditor menginginkan jumlah tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan likuiditas perusahaan.

"Akan tidak berguna jika menginginkan jumlah yang diinginkan kreditor, sementara tidak didukung oleh kondisi perusahaaan nantinya,"jelasnya.

Andi juga menyinggung soal kemungkinan Sritex diputus pailit. Menurutnya, status pailit Sritex memiliki efek domino bukan hanya dari aspek hukum, tetapi juga aspek sosial di wilayah yang terdampak.

"Efeknya juga ke yang ngasih utang. Jadi efek domino untuk semua," tukasnya.

Sebagai informasi, Sritex tercatat memiliki MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 sebesar US$25 juta. Berdasarkan laporan per akhir 2020, MTN ini memiliki tingkat suku bunga 5,8% per tahun yang dibayarkan setiap enam bulan sekali.

Emiten tekstil ini tidak bisa membayar MTN jatuh tempo lantaran tengah berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Baru-baru ini, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang telah mengabulkan gugatan PKPU CV Prima Karya kepada Sritex. Dengan demikian, Sritex dan tiga anak usahanya yakni Sinar Pantja Djaja, Bitratex Industries, dan Primayudha Mandirijaya resmi menyandang status PKPU sementara untuk 45 ke depan.

Dalam catatan Bisnis, CV Prima Karya adalah salah satu vendor yang terlibat dalam renovasi bangunan di Grup Sritex. Gugatan PKPU diajukan atas nilai utang yang belum dibayarkan oleh pihak Sritex senilai Rp5,5 miliar.

Manajemen Sritex dalam sebuah keterbukaan informasi di BEI memastikan bahwa pihaknya berupaya menyelesaikan permasalahan yang ada dengan seluruh mitra usaha sesuai  koridor hukum yang berlaku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper