Bisnis.com, URUMQI - Di tengah sorotan negatif Barat soal pelanggan HAM, Pemerintah China berencana merenovasi Xinjiang Islamic Institute di Kota Urumqi.
Untuk rencana tersebut, Pemerintah China mengalokasikan 280 juta yuan atau sekitar Rp627,8 miliar.
"Selain dari pemerintah pusat, dana 280 juta itu juga berasal dari pemerintah daerah dan Asosiasi Islam Xinjiang," kata Wakil Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Daerah Otonomi Xinjiang, Li Xuejun, kepada ANTARA di Urumqi, Kamis (22/4/2021).
XII dibangun pertama kali di atas lahan seluas 7,6 hektare di pinggiran Ibu Kota Xinjiang tersebut pada 1982.
XII kemudian direnovasi pada 2014. Selain di Urumqi, XII berada di delapan kota lainnya di Xinjiang, termasuk di Kashgar, Aksu dan Hotan yang merupakan daerah terluar China.
Sampai saat ini di XII Urumqi terdaftar 889 orang mahasiswa, dari pendidikan S1 maupun pascasarjana.
Baca Juga
Mereka tinggal di asrama di kompleks XII tanpa dipungut biaya, termasuk kebutuhan makan sehari-hari.
"Untuk biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah sebesar 8.000 yuan(Rp17,9 juta) per mahasiswa setiap bulan dan biaya hidup 4.000 yuan (Rp8,9 juta)," kata Abit Qozbaz selaku penanggung jawab XII.
Materi perkuliahan pokok yang diajarkan di kampus tersebut di antaranya Al Quran, Hadis, Syariah, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, Ideologi, dan Undang-Undang Dasar Nasional China.
Setelah selesai menjalani pendidikan dalam berbagai jenjang, para lulusan XII dikembalikan ke daerah asal untuk menjadi pemuka agama, khotib, atau imam.
Muhammad Amin Abdullah, dosen XII mengaku mendapatkan honor sebesar 72.000 yuan atau sekitar Rp161,4 juta per tahun.
"Saya mengajar di sini mulai tahun 2000," ujar pria berusia 38 tahun asal Kashgar lulusan Al Azhar, Kairo, setelah menamatkan pendidikan S1 di XII.
Kampus XII dilengkapi dengan masjid dan kantin untuk para mahasiswa yang 60 persen di antaranya berasal dari wilayah selatan Xinjiang, seperti Kashgar dan Hotan.
Beberapa utusan dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas keagamaan lainnya dari Indonesia pernah mengunjungi XII Urumqi pada 2019.
Lawan Tudingan Barat
China sedang berupaya melawan tudingan barat terkait pelanggaran HAM di Xinjiang. Selain merenovasi Xinjiang Islamic Institute, China juga melagukan gerakan diplomatik.
Salah satu cara China adalah dengan mengundang para diplomat dari berbagai negara untu berkunjung ke Xinjiang.
Puluhan diplomat dari sejumlah negara, termasuk Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Daerah Otonomi Xinjiang, China.
Dilansir Antara, Selasa (6/4/2021), ada lebih dari 30 diplomat dari 21 negara yang memiliki kantor perwakilan di China telah diberikan akses tersebut.
Mereka bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat setempat, mengunjungi sekolahan dan perusahaan selama empat hari, demikian media China, Selasa. B
Selain Indonesia, beberapa diplomat yang mendapatkan kesempatan itu berasal dari Rusia, Azerbaijan, Iran, Nepal, dan Malaysia.
"Sebagai seorang Muslim, saya shalat di masjid itu. Saya menyaksikan orang-orang bebas menjalankan aktivitas keagamaan mereka," kata Duta Besar Iran untuk China Mohammad Keshavarz Zadeh usai mengunjungi Masjid Baida di Kota Urumqi.
Selain Urumqi sebagai Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang, para diplomat tersebut juga mengunjungi Kashgar dan Aksu.
Kedua kota tersebut berada di wilayah selatan Xinjiang yang menjadi sasaran tuduhan Barat terhadap China dalam melakukan pelanggaran HAM.
Beijing membantah berbagai tuduhan Barat tersebut. Kunjungan ke Xinjiang tersebut bukan yang pertama kalinya bagi diplomat asing yang bertugas di China.
Sejak 2018, sejumlah diplomat asing dari berbagai negara, termasuk Eropa, juga telah mengunjungi daerah otonomi yang banyak dihuni etnis minoritas Muslim Uighur itu.
Kunjungan UNHCR PBB
Upaya lain menangkis tudingan Barat soal pelanggaran HAM dilakukan Beijing dengan menyatakan kesiapannya menyambut kunjungan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHC) ke Xinjiang.
"China sudah lama menyampaikan undangan kepada UNHC untuk mengunjungi Xinjiang dan tempat lain di China. Kedua belah pihak juga terus berkomunikasi," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian di Beijing, dikutip dari Antara, Selasa (30/3/2021).
Hal itu disampaikan pihak China menanggapi pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Minggu (28/3/2021) tentang negosiasi UNHC dengan pihak China terkait isu Xinjiang.
"Tujuan kunjungan itu lebih mendukung kerja sama kedua belah pihak daripada melakukan apa yang disebut dengan investigasi atas praduga tidak bersalah," kata Zhao.
Negara Barat menuding Beijing telah melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Muslim Uighur yang membentuk populasi mayoritas di Daerah Otonomi Xinjiang.
Namun, Beijing membantah semua tuduhan itu dengan berdalih masyarakat Xinjiang telah menikmati kehidupan dengan taraf ekonomi yang membaik berkat berbagai program pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
"Yang perlu diperhatikan dari laporan tersebut [pernyataan Sekjen PBB] bahwa pintu Xinjiang selalu terbuka. Kami menyambut kunjungan UNHC ke Xinjiang," ujar Zhao.
Pihaknya tidak ingin kunjungan UNHC tersebut dimanfaatkan oleh Barat untuk memanipulasi politik dan menekan China.
"China menyambut siapa saja yang datang ke Xinjiang, tapi menentang keras apa yang disebut investigasi atas praduga tak bersalah," tegasnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Xinjiang diterpa berbagai isu kemanusiaan, mulai dari pembongkaran masjid, penahanan etnis Uighur ke kamp vokasi, genosida, hingga pemisahan orang tua berlatar Uighur dengan anaknya melalui sekolah berasrama.
Terakhir, muncul isu kerja paksa di perkebunan kapas dan pabrik tekstil. Tetapi, isu itu dibantah Beijing karena semua pekerja di China, termasuk Xinjiang, dipekerjakan berdasarkan kontrak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perburuhan.
Isu kerja paksa telah menimbulkan beberapa merek pakaian jadi dan perlengkapan olahraga, seperti H&M dan Nike, diboikot secara meluas oleh warganet China. Bahkan sejak sepekan yang lalu, H&M sudah menghilang dari aplikasi belanja daring di China.
"Peritel tertentu ingin menyerang China sambil meraih keuntungan di pasar China. Mereka seharusnya tahu, lebih baik tidak menggigit tangan orang yang memberi mereka makan," kata Zhao.