Bisnis.com, JAKARTA - Menanggapi langkah awal Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk menekan Beijing soal hak asasi manusia, diplomat China memperingatkan untuk tidak melampaui "garis merah" masing-masing negara.
Yang Jiechi, pejabat Politbiro Partai Komunis, mengatakan masalah Hong Kong, Tibet, dan Xinjiang adalah garis merah yang tidak boleh dilewati.
Yang dalam sebuah pidato kepada kelompok AS-China yang berbasis di New York mengatakan bahwa kedua belah pihak berdiri pada momen penting untuk membangun kembali hubungan dan kerja sama setelah pelantikan Biden.
Namun, dia menempatkan tanggung jawab pada AS untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kebijakan yang salah arah dari mantan Presiden Donald Trump.
"Kami di China berharap bahwa Amerika Serikat akan bangkit di atas mentalitas usang persaingan dan bekerja dengan China untuk menjaga hubungan di jalur yang benar," kata Yang, dilansir Bloomberg, Selasa (2/2/2021).
Pidato di depan Komite Nasional Hubungan AS-China itu mewakili isu hubungan dengan Beijing setelah AS berada di bawah kepemimpinan Biden pada 20 Januari lalu.
Baca Juga
Presiden China Xi Jinping adalah salah satu pemimpin dunia terakhir yang memberi selamat kepada Biden atas kemenangannya pada November. Kedua pemimpin kekuatan terbesar dunia itu belum berbicara setelah pelantikan Biden.
Pemerintahan Demokrat telah mengisyaratkan keinginan untuk mempertahankan tekanan pada China dari perdagangan dan hak asasi manusia.
Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan bahwa AS harus memberikan tempat berlindung kepada orang-orang yang melarikan diri dari penindasan politik di Hong Kong.
Dia sebelumnya mengatakan bahwa kebijakan China terhadap minoritas Muslim di Xinjiang sama dengan genosida.
Pesan Yang kepada AS konsisten dengan pandangan di Beijing bahwa kebijakan Paman Sam yang tidak menentu didorong oleh celah yang semakin dalam di masyarakat Amerika, bukan kebijakannya sendiri.
Para diplomat China dalam beberapa pekan terakhir telah berulang kali menganggap tindakan Trump sebagai kegilaan.
"Setelah empat tahun berada pada kekacauan di bawah Trump, inilah saatnya bagi kedua belah pihak untuk mengambil waktu sejenak dan merenung," kata Zhu Feng, profesor hubungan internasional di Universitas Nanjing.
Dia melanjutkan bahwa kegilaan kebijakan Trump di China yang penuh dengan kebencian ternyata gagal. AS harus mempertimbangkan kerugian tersebut pada hubungan bilateralnya.
Kedua belah pihak tampaknya tertarik untuk menurunkan suhu yang memanas. Sementara Yang meminta AS untuk berhenti melabeli China sebagai pesaing strategis, Blinken mengecilkan risiko bentrokan antara dua kekuatan bersenjata nuklir itu.
"Ada aspek permusuhan dalam hubungan, pasti ada yang kompetitif, dan masih ada beberapa yang kooperatif juga,” kata Blinken.
Yang menyoroti peluang kerja sama dalam berbagai masalah seperti perubahan iklim, bantuan pandemi, dan kebijakan ekonomi makro. Komentarnya tentang pelonggaran tekanan visa pada pelajar dan media China menunjukkan satu kemungkinan area kompromi.
Koordinator Indopasifik Biden Kurt Campbell mengatakan bulan lalu bahwa AS dapat membalikkan tindakan semacam itu untuk membangun kepercayaan dengan China.