Bisnis.com, JAKARTA - Australia bergabung dengan sekutu termasuk Amerika Serikat dan Inggris dalam menyampaikan kekhawatiran tentang penggunaan produk dari wilayah Xinjiang, China dalam rantai pasokan global. Perusahaan di Xinjiang diduga mempraktikkan kerja paksa terhadap etnis muslim Uighur.
Menteri Luar Negeri Marise Payne mengatakan perusahaan lokal yang mengambil barang dari daerah tersebut perlu memeriksa pemasok dengan benar.
Pemerintah Australia berusaha untuk meningkatkan tekanan pada China atas perlakuan terhadap minoritas Muslim etnis Uighur. AS mengatakan China telah menahan lebih dari satu juta orang Uighur dan etnis serta pemeluk agama minoritas lainnya di kamp-kamp pendidikan ulang. Beijing telah berulang kali menolak klaim tersebut, dengan alasan bahwa mereka memerangi separatisme dan ekstremisme agama di wilayah tersebut.
Inggris bulan ini mengatakan akan mendenda perusahaan jika menutupi impor dari Xinjiang, sementara AS minggu ini bergerak untuk melarang masuknya semua produk kapas dan tomat dari wilayah tersebut, dengan alasan kekhawatiran atas kerja paksa.
Australia berbagi keprihatinan serius dari mitra internasional, seperti Inggris, tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang
"Termasuk dalam kaitannya dengan kerja paksa dan penahanan sewenang-wenang," kata Payne, dilansir Bloomberg, Sabtu (16/1/2021).
Baca Juga
Perusahaan Australia yang mengambil produk dari Xinjiang perlu melakukan uji tuntas ke dalam rantai pasokan mereka.
Sementara itu, hubungan antara Canberra dan China, mitra dagang utamanya, telah memburuk sejak 2018, ketika Huawei Technologies Co. dilarang membangun jaringan 5G di Australia. Tahun lalu, dua negara kembali berseteru setelah pemerintah Perdana Menteri Scott Morrison menyerukan penyelidikan internasional tentang asal-usul virus corona.
China tahun lalu memerintahkan pedagang untuk berhenti membeli rakit komoditas Australia, termasuk batu bara, jelai, gula, kayu, anggur, dan lobster.