Bisnis.com, JAKARTA - Inggris menjadi negara pertama yang menyetujui vaksin Covid-19 yang diproduksi AstraZeneca dan Universitas Oxford, kemarin. Selain itu, Argentina juga telah menyetujui vaksin itu untuk penggunaan darurat, menjadi yang kedua di dunia dan pertama di Amerika Latin.
Meski begitu, para ilmuwan dan regulator di Eropa, setelah Brexit, bersikap skeptis, mengingat hasil uji coba sebelumnya yang membuat para ahli mempertanyakan kekuatan data.
Lalu bagaimana kemanjuran vaksin AstraZeneca/Oxford ini? Menurut data sementara, tingkat efektivitas vaksin ini untuk mencegah gejala adalah 70,4 persen, setelah 30 dari 5.807 orang yang mendapat vaksin dua dosis tetap mengidap Covid-19.
Angka itu sebanding dengan kemanjuran 95 persen dua suntikan dari Pfizer/BioNTech yang telah lebih dulu disetujui Inggris.
Sementara kemanjuran dua dosis dengan vaksin jenis apa pun dipatok pada 52,7 persen, regulator Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA) juga mengatakan analisis eksplorasi peserta uji coba yang mendapat satu dosis penuh menunjukkan kemanjuran 73 persen dari 22 hari setelah disuntik pertama kali.
Regulator Inggris merekomendasikan suntikan penguat kedua hingga 12 minggu setelah dosis pertama, karena hingga 80 persen kemanjuran dicapai dengan interval tiga bulan antara suntikan.
"Efikasi dosis pertama memberikan indikasi perlindungan untuk waktu yang singkat antara dua dosis, dosis kedua memperkuat respons imun dan diharapkan memberikan respons imun yang lebih tahan lama,” kata University of Oxford, mitra AstraZeneca, dilansir Channel News Asia, Kamis (31/12/2020).
Keraguan mengenai efektivitas muncul setelah hasil uji coba tahap akhir sementara diumumkan pada akhir November. AstraZeneca saat itu mengakui bahwa orang dalam uji klinisnya secara tidak sengaja mendapat dosis yang berbeda.
Mereka yang menerima setengah dosis vaksin, diikuti dengan dosis penuh, terbukti memiliki perlindungan 90 persen, kata perusahaan pada awalnya, sementara dua dosis penuh hanya menawarkan perlindungan 62 persen.
Sekarang, MHRA mengatakan bahwa hasil rejimen setengah dosis tidak dibuktikan dalam analisis.
"Ini jauh lebih membingungkan karena kesalahan telah dibuat. Kesalahan yang menghasilkan data klinis yang jauh lebih kompleks untuk ditafsirkan dibandingkan dengan Moderna dan Pfizer. Dan di atas itu, kemanjurannya lebih rendah," kata seorang pejabat European Medicines Agency (EMA).
Vaksin Oxford dan AstraZeneca/Istimewa
Kedua jenis vaksin ini juga berbeda dalam hal teknologi, harga, dan penyimpanan. Suntikan AstraZeneca adalah "vaksin vektor virus", di mana virus yang direkayasa secara khusus mengirimkan instruksi genetik ke sel manusia untuk membuat protein untuk melawan corona.
Sementara, vaksin Pfizer/ ioNTech dan Moderna menggunakan teknologi baru yang mengemas messenger RNA (mRNA) di dalam tetesan lemak kecil untuk menginstruksikan sel membuat protein.
AstraZeneca berjanji vaksin itu hanya berharga beberapa dolar per dosis dan dijual tanpa menghasilkan keuntungan, sedangkan vaksin Pfizer berharga US$18,40 hingga US$19,50 per dosis. Vaksin mRNA terpisah dari Moderna, disetujui di Amerika Serikat, harganya mencapai US$37.
Suntikan AstraZeneca tidak memerlukan pembekuan dalam pada suhu minus 70 derajat Celcius seperti vaksin mRNA dari Pfizer dan mitranya di Jerman, BioNTech, dan telah diproduksi dengan jutaan dosis. Vaksin AstraZeneca bisa disimpan di lemari es standar selama enam bulan.
Selain itu, juga lebih murah untuk dibuat, membawa harapan bagi negara-negara berkembang yang sebagian besar tidak mendapatkan vaksin awal.