Bisnis.com, JAKARTA - Pengurus Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah yang didirikan oleh Rizieq Shihab bersama keluarganya di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, mendapatkan somasi dari salah satu BUMN terkait dengan kepemilikan lahan.
Sebuah video yang diunggah Front Pembela Islam, melalui kanal Youtube resmi ormas tersebut, Front TV, Rabu (23/12/2020), menampilkan sebuah surat somasi bertanggal 18 Desember 2020 dari PT Perkebunan Nusantara VIII yang dialamatkan kepada ponpes tersebut.
Surat somasi itu menyebutkan adanya penguaasan fisik atas lahan sekira 30,91 hektar di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Bogor, oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sejak 2013. Penguasaan fisik itu dilakukan tanpa izin dan persetujuan PT Perkebunan Nusantara VIII.
"Kami tegaskan bahwa lahan yang Saudara kuasai tersebut merupakan aset PT Perkebunan Nusantara VIII berdasarkan Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008," demikian tertulis pada salinan surat tersebut.
Dalam surat somasi itu pun tertulis bahwa tindakan ponpes milik Rizieq Shihab itu merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak. Oleh karena itu, pihak pengirim somasi menegaskan bahwa pihaknya memberikan kesempatan terakhir serta memperingatkan pihak ponpes untuk mengembalikan lahan tersebut paling lambat 7 hari kerja setelah surat tersebut diterima.
"Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini Saudara tidak menindaklanjutinya maka kami akan melaporkannya ke Kepolisian cq. Kepolisian Daerah Jawa Barat," demikian tertulis dalam surat tersebut.
Terkait somasi itu, Pimpinan FPI Rizieq Shihab memberikan klarifikasi dalam video tersebut. Sebagai catatan, Rizieq sudah sejak 13 Desember 2020, Rizieq Shihab ditahan di rumah tahanan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya terkait dengan kasus pindana pelanggaran protokol kesehatan.
Di dalam video tersebut, Rizieq pun menyinggung adanya pihak yakni perusahaan pelat merah yang dalam beberapa tahun terkahir mengganggu pesantren tersebut. Dia menjelaskan tanah tersebut memang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara VIII atau PTPN dengan sertifikat hak guna usaha atau HGU.
Namun, Rizieq menegaskan bahwa tanah itu telah 30 tahun lebih digarap oleh masyarakat. "Tidak pernah lagi ditangani oleh PTPN," kata Rizieq dalam video tersebut.
Berdasarkan kondisi itu, Rizieq mengklaim, pertama, bahwa berdasarkan Undang-Undang tentang Agraria, masyarakat yang menggarap satu lahan kosong atau terlantar hingga lebih dari 20 tahun, maka masyarakat tersebut berhak untuk membuat sertifikat.
Selain itu, Rizieq mengklaim bahwa regulasi yang mengatur HGU juga menyebutkan sertifikat HGU tidak bisa diperpanjang atau akan dibatalkan bila satu lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU atau lahan tidak dikuasai secara fisik oleh pemilik HGU.
"Tanah ini HGU-nya milik PTPN. Betul, tapi 30 tahun PTPN tidak pernah menguasai secara fisik tanah ini. Catat itu! Dan 30 tahun ditelantarkan PTPN. PTPN tidak pernah berkebon lagi di sini saudara." tegas Rizieq.
Dengan demikian, Rizieq mengklaim bahwa pengusahaan lahan tersebut telah beralih kepada masyarakat petani yang menggarap lahan tersebut. Dari para petani itulah, Rizieq Shihab dan koleganya membeli lahan tersebut untuk pembangunan pondok pensantren.
UU AGRARIA
Berdasarkan penelusuran Bisnis, tidak terdapat bagian dalam Undang-Undang No. 5/1960 yang sesuai dengan klaim Rizieq Shihab, khususnya terkait hak masyarakat penggarap lahan bersertifikat HGU milik pihak lain jika dibiarkan terlantar selama lebih dari 20 tahun.
Berdasarkan UU tersebut, HGU merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dan bila luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
"Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain," demikian tertulis pada Pada Pasal 28, Ayat 3, UU tersebut.
Pada pasal selanjutnya, tertulis bahwa HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun, sedangkan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, kedua tenggat itu dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.
Syarat HGU adalah warga-negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Bila melanggar syarat ini, maka orang atau badan hukum yang mempunyai HGU tidak lagi memenuhi syaratvdan dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Pada Pasal 34, UU Agraria menegaskan bahwa HGU akan dihapus karena jangka waktunya berakhir; dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; dicabut untuk kepentingan umum; tanahnya musnah; dan ketentuan terkait syarat HGU di atas.
Selain itu, salah satu poin yang ditetapkan UU Agraria yang menyebabkan HGU dihapus adalah tanah diterlantarkan.
PP HAK GUNA USAHA
Rizieq juga mengklaim bahwa regulasi yang mengatur HGU--Rizieq menyebutnya UU HGU--menyatakan sertifikat HGU tidak bisa diperpanjang atau akan dibatalkan bila satu lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU atau lahan tidak dikuasai secara fisik oleh pemilik HGU.
Kondisi itu, klaim Rizieq, menyebabkan pengusahaan lahan tersebut telah beralih kepada masyarakat petani yang menggarap lahan tersebut.
Tidak terdapat UU HGU. Regulasi terkait yang mengatur HGU adalah Peraturan Pemerintah No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Regulasi ini merupakan turunan UU Agraria.
PP 40/1996, Pasal 9, menyatakan HGU dapat diperpanjang atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat, yakni tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Dengan syarat serupa, peraturan pemerintah tersebut meyatakan bahwa HGU itu pun dapat diperbaharui.
Regulasi itu, pada Pasal 12, Ayat 2, juga menegaskan bahwa pemegang HGU dilarang menyerahkan pengusahaan tanah HGU kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kendati pengusahaan tanah HGU tak boleh beralih, tetapi kepemilikan HGU itu sendiri dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. PP 40/1996, Pasal 16, mengatur peralihan HGU terjadi dengan cara yakni jual beli; tukar menukar; penyertaan dalam modal; hibah; dan pewarisan.
Lebih lanjut, regulasi itu menyatakan bahwa peralihan HGU itu harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Peralihan HGU karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Adapun, jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita acara lelang, sedangkan peralihan HGU karena warisan harus dibuktikan surat wasiat/atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
PP ini juga mengatur penghapusan HGU dengan menyebutkan sejumlah syarat serupa dengan UU Agraria, termasuk karena tanah ditelantarkan. Hal itu tertuang dalam Pasal 17, PP tersebut.
Namun, pada pasal tersebut ditambahkan keterangan bahwa terhapusnya HGU akan menjadikan tanah tersebut kembali kepada negara.
"Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara," demikian tertulis pada regulasi itu.