Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skandal suap pengadaan paket bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos).
Selain telah menetapkan lima orang tersangka, termasuk Menteri Sosial Juliari P Batubara, penyidik lembaga antikorupsi juga mengendus keterlibatan sejumlah korporasi dalam proyek pengadaan bansos itu, salah satunya PT Rajawali Parama Indonesia atau RPI.
Keberadaan PT RPI menarik sejak awal disebutkan oleh penyidik KPK. Pasalnya, pencantuman nama Rajawali Parama sekilas mirip dengan nama-nama konglomerasi besar seperti Rajawali Parama atau Rajawali Group.
Meskipun setelah ditelusuri, PT Rajawali Parama Indonesia ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan keduanya. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri juga memastikan hal tersebut.
"Sejauh ini enggak ada hubungan," kata Ali saat dihubungi Bisnis, Senin (7/12/2020).
Kendati tidak terkait korporasi besar, keberadaan PT RPI tetap menarik untuk diulas. Apalagi dari sisi struktur maupun komposisi pemegang saham perusahaan tersebut menunjukkan adanya kejanggalan.
Dokumen perseroan yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemnkumham) setidaknya mencatat tiga kejanggalan tersebut.
Pertama, dokumen itu mengungkap bahwa PT RPI baru mendapatkan pengesahan pada tanggal 4 Agustus 2020 atau didirikan saat pandemi dan pencairan program bansos berlangsung. Pengesahannya dicatat oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham dengan nomor SK Pengesahan: AHU-0037606.AH.01. 01.Tahun 2020.
Ada dugaan, perusahaan itu sengaja dibentuk untuk menampung proyek bansos di Kemensos. Apalagi, hasil penyidikan sementara KPK menyebutkan bahwa PT RPI diduga milik Matheus Joko Santoso, pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos yang ditangkap KPK.
Kedua, perusahaan ini hanya memiliki modal dasar senilai Rp500 juta. Padahal nilai proyek pengadaan paket bansos yang diberikan kepada tiga perusahaan, termasuk PT RPI nilainya yang nilainya mencapai Rp5,9 triliun.
Ketiga, struktur perusahaan itu bisa dibilang sangat ringkas atau sederhana. PT RPI hanya memiliki satu direktur dan satu komisaris. Direktur dijabat oleh Wan M. Guntar yang memiliki 250 lembar saham atau senilai Rp250 juta.
Belakangan diketahui, Wan M. Guntar tidak hanya menjabat sebagai Direktur di PT RPI. Sebab, dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK, dia justru disebut sebagai Direktur di PT Tiga Pilar Agro Utama.
Sementara itu, jabatan komisaris PT RPI dipegang oleh Daning Saraswati. Daning juga memiliki 250 lembar saham atau Rp250 juta. Menariknya, baik Wan M.Guntar dan Daning Saraswati masing-masing masih berusia 28 dan 27 tahun.
Kuat dugaan, dua nama itu sengaja dicantumkan sebagai nominee dari orang yang berkepentingan dalam permainan bansos di Kemensos. "Memang ini yang akan kami dalami lebih lanjut. Pembuktian pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)," imbuhnya.
Bisnis telah berupaya mengontak pihak PT RPI melalui akun media sosial salah satu komisarisnya. Namun, sampai berita ini diturunkan permintaan konfirmasi tersebut belum ditanggapi oleh yang bersangkutan.
Seperti diketahui, penetapan Mensos Juliari P Batubara sebagai tersangka bermula dari proyek pengadaan bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020. Nilai proyek tersebut sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dalam 2 periode.
Juliari diketahui menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.
Penyidik lembaga antikorupsi menduga dalam penunjukkan tersebut disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
"Untuk fee tiap paket Bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket Bansos," demikian bunyi penjelasan resmi KPK.
Setelah penunjukkan tersebut, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS.
KPK menyebut penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Mensos dan disetujui oleh AW.
Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama para tersangka diduga menerima fee senilai Rp12 miliar yang diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut, menurut KPK, selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi menteri dari PDI Perjuagan tersebut.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Mensos," tukasnya.
Sengkarut Bansos
Penangkapan sejumlah pejabat di Kemensos sejatinya bukan kabar yang mengagetkan. Pemerintah sebenarnya sudah banyak diperingatkan soal potensi penyelewengan dan politisasi bantuan untuk wong cilik tersebut menjelang pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Salah satu sorotan datang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga auditor negara itu mencatat sejumlah masalah mulai dari penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran hingga penggunaan data yang tidak mencerminkan kondisi saat ini.
Anggota III BPK Achsanul Qosasi menjelaskan bahwa belum optimalnya proses penyaluran bantuan kepada masyarakat disebabkan oleh sejumlah persoalan. Pertama, pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan aturan terkait penyaluran bantuan.
Menurutnya, banyak aturan yang berubah sewaktu-waktu yang membutuhkan penyesuaian di level pengambil kebijakan. Perubahan aturan tersebut menyebabkan pelaksanaan program penanganan covid - 19 tidak berjalan cepat.
“Kebingungan-kebingungan di bawah, menteri kemudian hingga ke bupati harus seirama, aturannya sudah ada jadi mereka seharusnya bisa lebih cepat,” kata Achsanul dalam sebuah webinar belum lama ini.
Kedua, penyaluran program yang cenderung salah sasaran. Penggunaan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang tidak update menjadi pangkal masalah penyaluran program perlindungan sosial. Sebab, menurutnya, DTKS yang digunakan sebagai basis untuk penyaluran program dibuat tahun 2014.
Artinya ada gap waktu selama 5 tahun dari pertama kali DTKS ditentukan. Kondisi tersebut bisa berimplikasi pada validitas data yang digunakan pemerintah untuk menyalurkan bantuan. “Dalam waktu tersebut ada yang meninggal atau pergi ke luar negeri untuk bekerja, sehingga kecenderungan untuk salah sasarannya cukup tinggi," jelasnya.
Ketiga, mantan anggota Komisi XI DPR ini juga menyoroti skema penyaluran bantuan sosial yang dilakukan melalui perbankan juga berpotensi bermasalah. Achsanul menjelaskan bahwa saat ini akses masyarakat terutama menengah ke bawah terhadap perbankan masih sangat minim.
Dengan skema model penyaluran tersebut, akses masyarakat untuk memperoleh bantuan juga semakin terbatas. "Inklusi keuangan masih sangat rendah, jadi banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses program tersebut," ungkapnya
Penetapan Mensos Jualiari P Batubara dan sejumlah pejabat di Kemensos membuktikan bahwa potensi kerawanan penyaluran bansos itu bukan isapan jempol. Kasus ini juga menunjukkan celah-celah penyaluran bansos telah dimanfaatkan oleh tangan-tangan kriminal untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat yang sedang kesusahan akibat pandemi.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo bahkan dalam cuitannya menganggap bahwa menyebut bahwa siapapun yang bermain-main dan menyelewengkan anggaran adalah durjana dan mengkhianati negara. “Sangat pantas dihukum berat!,” tegasnya.
Sorotan ke Partai Banteng
Kasus bansos yang menjerat salah satu kader utamanya membuat PDIP kembali menjadi sorotan. Pasalnya Agustus lalu, PDI sempat menjadi buah bibir publik setelah beredarnya surat No.1684 /IN/DPP/VII/2020 yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan.
Surat itu ditandantangani langsung oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan ditujukan kepada Dewan Pimpinan Cabang PDIP. Isi surat tersebut menginstruksikan kepada kader partai berlambang banteng itu untuk ikut seleksi koordinator Program Keluarga Harapan (PKH) yang dilakukan Kementerian Sosial (Kemensos).
"Menginstruksikan DPC PDIP untuk mengikuti dan seleksi koordinator kabupaten atau kota PKH 2020," demikian bunyi instruksi DPP PDIP yang dikutip, Senin (7/12/2020).
PKH adalah program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Miskin (KM) yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat.
Hasto Agustus lalu mengatakan bahwa instruksi itu ditujukan untuk memacu kader supaya ikut berpartisipasi dalam jabatan publik, termasuk PKH.
Sementara itu terkait penetapan salah satu kader utamanya sebagai tersangka, Hasto Kristiyanto menyatakan PDI Perjuangan mendukung sepenuhnya berbagai langkah pemberantasan korupsi termasuk dalam bentuk OTT yang secara simultan dilakukan KPK.
“Partai menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapapun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan oleh KPK tersebut," ujarnya.
Hasto juga menegaskan bahwa PDI Perjuangan secara terus menerus mengingatkan para kadernya untuk selalu menjaga integritas dan tidak mengalahgunakan kekuasaan, apalagi melakukan korupsi.
“Kami selalu tegaskan bahwa kekuasaan itu untuk rakyat. Partai melarang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi. Tertib hukum adalah wajib bagi wajah pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi," tukasnya.
Di sisi lain,Kementerian Sosial memastikan program bantuan sosial bagi rakyat tidak akan terganggu paska operasi tangkap tangan yang dilakukan komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Sekjen Kemensos RI Hartono Laras menjelaskan Kemensos akan terus berkerja keras untuk menyelesaikan program bantuan sosial baik program reguler maupun program khusus dari sisa waktu anggaran 2020 yang akan segera berakhir.
Disamping itu, Kemensos juga mempersiapkan pelaksanaan program 2021 yang sudah harus berjalan mulai bulan Januari. Saat ini total anggaran kemensos sebesar Rp134 triliun dan realisasi sudah lebih dari 97,2% per-6 Desember 2020.
Sementara jumlah anggaran yang masuk skema program perlindungan sosial, baik yang reguler maupun non reguler (khusus), mencapai Rp128,78 triliun, realisasi juga lebih dari 98%.
Mengenai OTT yang dilakukan KPK, Hartono mengaku sangat prihatin terhadap proses hukum yang saat ini tengah terjadi di KPK dan memastikan untuk bekerja sama penuh serta membuka akses informasi yang diperlukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Hal ini sebagai bentuk keseriusan dan dukungan kami dalam upaya Pemberantasan Korupsi," jelas Hartono.