Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch menilai putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri dan Karyoto melenceng dari substansi. Ada berbagai catatan yang disampaikan terhadap dewan pengawas lembaga anti rasuah itu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menerangkan pada 26 Oktober 2020, ICW melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Laporan dilakukan karena Firli dan Karyoto dinilai telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku berkaitan dengan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Namun, Dewas kemudian menyatakan Firli dan Karyoto tidak melakukan pelanggaran seperti yang diduga. Hal itu turut disampaikan dalam surat dari Dewas kepada ICW pada 9 November 2020.
Menurut Kurnia, ada empat alasan yang disampaikan Dewas. Pertama, penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dilakukan KPK atas perintah Ketua KPK, akibat dari laporan yang kurang lengkap dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat yang menyebutkan telah membantu OTT di Kemendikbud.
Kedua, penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antar kedeputian dan sudah sesuai dengan prosedur KPK. Ketiga, keputusan Ketua KPK agar penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan korupsi di Kemendikbud dilakukan oleh KPK setelah dikoordinasikan dengan pimpinan KPK lainnya secara daring, sehingga keputusan itu bukan inisiatif Firli.
"Alasan terakhir, kasus yang ditangani dalam penyelidikan KPK, belum ditemukan bukti permulaan yang cukup serta belum terpenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain. Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan pimpinan KPK," paparnya seperti dilansir Antara, Jumat (13/11/2020).
Baca Juga
Meski demikian, lanjut Kurnia, dalam surat itu Dewas KPK juga mengakui adanya beberapa kelemahan dalam penanganan kasus tersebut.
Dia menuturkan ICW berbagai keputusan Dewas menunjukkan kegagalan mereka memberikan kontribusi bagi penguatan KPK.
ICW menjelaskan ada beberapa catatan mengenai keputusan ini. Salah satunya, argumentasi Dewas dipandang melenceng dari substansi putusan yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat Aprizal yang mengungkapkan percakapan antara Aprizal dengan Firli.
Dalam percakapan tersebut, menurut Kurnia, terlihat adanya pemaksaan dari Firli untuk menangani perkara itu yang sedari awal dilakukan oleh Inspektorat Kemendikbud. Padahal, saat itu, Aprizal sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara, tetapi Firli mengabaikan informasi tersebut.
Kemudian, ICW menilai tidak lazim bagi pimpinan KPK membuat keputusan khususnya di kedeputian penindakan hanya dengan percakapan daring tanpa adanya forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran kedeputian penindakan, disertai tim pengaduan masyarakat.
Lalu, Dewas KPK dipandang mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke penegak hukum lain karena Dewas tidak memerinci situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara, serta tidak pula menjelaskan perihal "berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK".
"Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial," sambung Kurnia.
ICW juga menilai Dewas kerap tidak profesional dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Contohnya, saat pimpinan KPK memulangkan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, simpang siur informasi izin penggeledahan kantor DPP PDIP, sampai pada putusan yang semestinya masuk pada kategori berat tetapi hanya diberikan teguran terhadap Firli.