Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute Karyono Wobowo mengingatkan bahwa pemerintah perlu memperjelas sedikitnya 7 poin yang menjadi keberatan para pekerja dari RUU Cipta Kerja.
Ketujuh poin tersebut mengenai upah minimum yang penuh persyaratan, menurunnya jumlah pesangon, fleksibilitas masa kontrak kerja, outsourcing, kompensasi kerja, waktu kerja dan soal upah cuti.
Meski pemerintah menganggap bahwa beleid itu sudah mengakomodir hak buruh, Karyono menilai eksekutif perlu memberi penjelasan dan pemahaman tersebut untuk mencapai kesepakatan bersama.
“Perlu jalan keluar untuk mencapai kompromi. Jika tidak pasti akan terjadi konflik,” katanya kepada Bisnis, Senin (12/10/2020).
Dia mengatakan, pemerintah bersama DPR sebagai regulator memiliki kepentingan untuk membuat aturan yang diselaraskan dengan program pembangunan nasional seperti meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Dalam fungsinya sebagai regulator dan fasilitator, pemerintah perlu menjaga kesimbangan antara meningkatkan investasi dengan kesejahteraan buruh atau pekerja. Peran pemerintah sebagai regulator adalah menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, pengusaha membutuhkan kepastian hukum demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dan sustainable. Konteks inilah menurut Karyono yang membutuhkan kesepahaman oleh para pemangku kepentingan atau stakeholder.
Di sisi lain, Karyono meyakini aksi buruh dan mahasiswa murni memperjuangkan hak rakyat. Namun dia mengingatkan bahwa penolakan tersebut memberi keuntungan bagi setidaknya dua kelompok.
Pertama, partai yang menolak UU Cipta Kerja diyakini mengambil keuntungan politik dengan cara mengkapitalisasi aksi penolakan untuk mendapatkan simpati. Kondisi ini dinilai akan meningkatkan dukungan suara pada pemilu mendatang.
“Hal ini wajar dalam konteks pertarungan politik elektoral,” terangnya.
Kedua adalah kelompok yang mencoba mengadu keberuntungan. Targetnya agar terjadi situasi chaos seperti peristiwa 1998. Sedangkan target minimalnya adalah memanfaatkan aksi untuk mendelegitimasi pemerintahan dan meningkatkan ketidakpuasan publik.