Bisnis.com,JAKARTA- Penegak hukum dinilai belum terbuka dalam menginformasikan perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Indonesian Coruption Watch (ICW) mengatakan bahwa salah satu hal yang patut diperhatikan dalam konteks pemberantasan korupsi yaitu upaya penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga ini menilai dalam proses penanganan kasus korupsi, pengawasan oleh publik menjadi kunci penting untuk menjalankan mekanisme check and balances agar tidak terjadinya abuse of power yang dilakukan oleh penegak hukum.
“Sebab itu, penegak hukum harus menyampaikan informasi penanganan kasus korupsi aspek penyidikan. Hal tersebut tidak berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17,” ujar lembaga itu dalam rilis yang diterima, Selasa (29/9/2020).
Pada praktiknya, ICW melihat penegak hukum belum transparan dan akuntabel mengenai penanganan kasus korpusi di ranah penyidikan, terutama di Kepolisian dan Kejaksaan. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang rutin menyampaikan informasi setiap adanya penyidikan kasus korupsi melalui siaran pers yang ada di laman webnya.
Ketertutupan informasi pun juga dilihat ICW dalam tahap monitoring dan evaluasi mengenai Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2019 yang dilakukan oleh Komisi Informasi Pusat. Berdasarkan Keputusan Komisi Informasi Pusat Nomor 10/KEP/KIP/VIII/2019 tentang Metode dan Teknik Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik Badan Publik Tahun 2019 pada diktum kedelapan disebutkan bahwa terdapat 5 kualifikasi penilaian Badan Publik yakni: pertama, Informatif (nilai antara 90 sampai 100), kedua, menuju informatif (nilai antara 80 sampai 89,9); ketiga, cukup informatif (nilai antara 60 sampai 79,9); keempat, kurang informatif (nilai antara 40 sampai 59,9) dan kelima, tidak informatif (nilai kurang dari 39,9).
Berdasarkan hasil Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik, KPK masuk dalam kategori Badan Publik Lembaga Non Struktural yang mendapatkan peringkat menuju informatif. Sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan tidak ada di dalam 3 kualifikasi awal.
Menurut ICW, kondisi pemberantasan korupsi dapat dilihat secara umum di dalam laporan Rule of Law Index pada 2020. Secara umum, Indonesia berada pada peringkat 59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Semakin rendah nilainya maka indeks negara hukumnya makin buruk ataupun sebaliknya. Tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin.
“Secara peringkat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sedangkan secara poin Indonesia hanya meningkat sebesar 0,01 poin,” papar ICW.
Salah satu indikator di dalam ROLI yakni tidak adanya korupsi. Dari indikator tersebut terdapat 4 (empat) variabel yakni: 1). Tidak adanya korupsi di cabang eksekutif; 2). Tidak adanya korupsi di yudisial; 3). Tidak adanya korupsi di polisi/militer; dan 4). Tidak adanya korupsi di legislatif.
Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI pada pada 2020, Indonesia berada pada peringkat 92 dari 128 negara dengan skor 0,39. Sedangkan pada setahun sebelumnya, Indonesia berada peringkat 97 dari 126 negara dengan skor 0,38. Baik secara peringkat ataupun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signfikan.
“Dari kedua informasi di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki perhatian serius dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam aspek keterbukaan informasi penanganan kasus korupsi. Bahkan di titik yang ekstrem, pemerintah gagal dalam mengungkap kasus korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih,” tutup ICW.