Bisnis.com, JAKARTA - Memperingati 75 tahun PBB, Presiden China Xi Jinping dalam pidatonya menyindir Amerika Serikat. Sindirannya menekankan bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang diizinkan untuk melakukan apa pun sesukanya dan menjadi hegemon, pengganggu, atau menjadi 'bos dunia'.
Xi mendorong negara-negara berkembang untuk memiliki peran yang lebih besar dalam urusan dunia dan PBB bisa lebih seimbang dan menyerukan tatanan yang didukung oleh hukum internasional.
"Tidak boleh ada praktik pengecualian atau standar ganda. Hukum internasional juga tidak boleh didistorsi dan digunakan sebagai dalih untuk merusak hak dan kepentingan sah negara lain atau perdamaian dan stabilitas dunia," kata Xi dilansir Bloomberg, Selasa (22/9/2020).
Xi dijadwalkan berpidato di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa secara virtual hari ini. Presiden AS Donald Trump juga termasuk di antara para pemimpin dunia yang diharapkan untuk berpidato di KTT tahunan di New York.
Seruan Xi Jinping untuk kebangkitan multilateral digaungkan oleh para pemimpin mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel hingga Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, karena kekhawatiran tentang stabilitas institusi global yang didirikan setelah kehancuran Perang Dunia Kedua itu.
China telah berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin tatanan dunia setelah Trump memutuskan AS menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perjanjian iklim Paris, dan kesepakatan nuklir Iran.
Baca Juga
Sementara Xi tidak menyebut nama negara mana pun, pernyataannya muncul ketika pemerintahan Trump menghantam China dengan sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia dan memberi label ancaman keamanan WeChat dan Huawei Technologies Co.
Trump mengatakan bulan lalu bahwa pengecualian AS harus diajarkan di sekolah-sekolah, ketika dia mencoba membandingkan dirinya dengan calon Demokrat Joe Biden, yang telah berjanji untuk mengembalikan AS ke kebijakan luar negeri yang tidak terlalu konfrontatif.
China menghadapi tantangan dalam mencoba mengisi kekosongan di panggung global, karena dituduh melanggar norma internasional dengan menegaskan klaim teritorial di Laut China Selatan, memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong dan menahan etnis Uighur di Xinjiang.
China juga menghadapi tuduhan perundungan karena menggunakan kebijakan perdagangan koersif dalam sengketa geopolitik terhadap negara-negara dari Australia hingga Swedia.