Bisnis.com, JAKARTA – Epidemiolog mengatakan bahwa menghapus atau mencabut aturan untuk rapid test maupun tes swab bagi pelaku perjalanan akan berakibat fatal bagi penyebaran Virus Corona di Indonesia.
Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), pelaku perjalanan baik domestik dan internasional sudah tak ada lagi keterangan mewajibkan tes rapid maupun swab.
Sementara, untuk penemuan kasus baru dilakukan dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk wilayah baik melalui bandara, pelabuhan, atau stasiun.
Kepala Departemen Epidemiologi FKM UI Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan bahwa penghapusan aturan tes tersebut bisa berakibat fatal.
“Sekarang kalau aturan rapid test dihapuskan, apakah diganti dengan wajib swab test atau tidak ada sama sekali? Kalau tidak diganti dengan yang lebih baik ya, jangan dihapus,” ujar Tri Yunis kepada Bisnis, Selasa (8/9/2020).
Menurutnya, rapid test masih bisa diandalkan meskipun masa inkubasinya lama dan dari sisi akurasi masih kurang. Tapi, setidaknya ada upaya untuk skrining daripada tidak ada sama sekali.
“Paling tidak dengan rapid test kita bisa mendeteksi hari kelima sampai 10 pada pasien positif. Ini lebih bagus daripada tidak ada deteksi sama sekali,” tegasnya.
Dengan hanya mengukur suhu tubuh, artinya Indonesia kembali ke kondisi saat terjadi pandemi pertama kali, alias mengalami kemunduran. Dengan cara ini, semua penumpang yang suhu tubuhnya tidak panas bisa tetap masuk dan melakukan perjalanan jauh.
“Jadi, paling tidak harus ada upaya skrining kedua. Kalau tidak, ya kita kembali ke asal, mundur lagi. Kalau tidak diganti dengan wajib swab test, tidak akan lebih baik,” tegasnya.
Namun, yang jadi permasalahan adalah harga tes swab yang mahal. Bisa lebih mahal daripada harga tiket. Hal ini yang membuat kewajiban swab test dipertimbangkan.
“Masa, mau ke Surabaya ongkosnya jadi dua kali lipat. Apalagi, mau ke Yogyakarta, swab testnya lebih mahal dari harga tiketnya, ya orang tidak akan pergi,” ujarnya.
Meskipun akurasi rapid test tidak 100 persen, tapi setidaknya sensitivitasnya baik, sampai 93 persen. Melihat antibodi terbentuk pada hari kelima infeksi virus, setidaknya rapid test bisa mendeteksi kalau orang terkena virus dalam beberapa hari menjelang perjalanan.
“Ini lumayan daripada tidak ada, dan ini cepat juga lebih murah. Jadi orang nggak sembarangan melakukan perjalanan, apalagi kalau sampai OTG [Orang Tanpa Gejala] sampai pergi-pergi,” ungkapnya.