Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Eropa (ECB) sepertinya akan menambah stimulus sebagai respons terhadap krisis kesehatan yang menekan perekonomian pada akhir tahun.
Pasalnya, pemulihan ekonomi tampak flat di Benua Biru dan penguatan euro menjadi ancaman yang dapat merusak pergerakan harga.
Berdasarkan survei yang dilakukan Bloomberg, para ekonom memperkirakan ECB akan meningkatkan pembelian obligasi pada Desember dari level saat ini senilai 1,35 triliun euro setara dengan US$1,6 triliun.
Sebagian besar ekonom dalam survei tersebut menduga program pembelian obligasi di masa pandemi akan diperpanjang selama enam bulan dan bahkan bisa sampai akhir 2021.
“Responden juga menyampaikan bahwa ECB memiliki dana 210 miliar euro untuk membeli lebih banyak [obligasi] hingga Maret lewat program pinjaman perbankan yang variatif,” tulis Bloomberg mengacu kepada hasil survei, seperti dikutip pada Jumat (4/9/2020).
Dewan Gubernur ECB diperkirakan bakal mempertahankan kebijakannya saat pertemuan virtual pekan depan dan Gubernur ECB Christine Lagarde diharapkan memberi sinyal mengenai aksi moneter di masa depan.
Suku bunga acuan ECB juga juga tampak belum berubah hingga akhir 2022. Saat ini, tingkat suku bunga deposito ditetapkan -0,5 persen.
Ekonom memperkirakan perubahan suku bunga akan menjadi risiko bagi nilai tukar euro. Adapun, euro telah menguat ke atas US$1,20 pekan ini untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir setelah sempat menguat 12 persen pada Maret saat awal pandemi.
Penguatan euro pun menekan harga-harga karena membuat biaya impor terpangkas.
“Laju penguatan mata uang tunggal akan menjadi fokus bank sentral,” tulis Bloomberg.
Sebelumnya, Bank Sentral AS (Federal Reserve) telah lebih dulu menunjukkan komitmen untuk menahan suku bunga di level terendah dan mengubah target inflasi 2 persen menjadi inflasi rata-rata.
“Sampai sekarang, apresiasi euro belum mengubah prospek inflasi. Tapi retorikanya, ECB harus mengawal tren kenaikan nilai tukar,” kata Ekonom DekaBank Kristian Toedtmann di Frankurt, Jerman.
Dalam jangka panjang, ekonom memperkirakan kebijakan moneter Benua Biru akan tetap mengikuti strategi The Fed, yaitu membiarkan target inflasi menuju 2 persen dulu.
Beberapa responden survei malah menduga ECB akan memangkas target inflasi di bawah dan mendekati 2 persen.
Analis Kuantitatif Rabobank Bas van Geffen menunjukkan bahwa data makroekonomi sudah cukup baik untuk menggaransi aksi moneter baru dari bank sentral pada September. Namun, ketidakpastian mengenai pandemi, prospek pertumbuhan ekonomi, dan arah inflasi masih menjadi kendala.
“ECB akan mengonfirmasi ulang bahwa bank sentral tetap siap untuk mengubah kebijakan pada saat diperlukan,” kata van Geffen.
Adapun, rebound sementara dari resesi Covid-19 tetap membawa awan gelap bagi prospek pemulihan ekonomi di masa depan.
Hal itu mengingat infeksi virus masih meningkat ketika libur musim panas dimulai dan beberapa negara melonggarkan kebijakan pembatasan sosial. Di sisi lain, indikator ekonomi mulai bergairah.