Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti Australia Ben Bland menyebut Presiden Joko Widodo sebagai seorang wali kota di Istana Kepresidenan. Dia menilai strategi politik Jokowi berhasil sebagai wali kota di Solo namun gagal diterapkan di tingkat nasional.
Mengutip ABC Indonesia, Jumat (4/9/2020), Ben menjelaskan strategi politik Jokowi sangat sederhana, yakni mendengarkan apa yang dikehendaki rakyat dan mencoba mewujudkannya.
Menurutnya, langkah itu bisa jadi berhasil di Solo, tetapi hal ini menjadi kompleks saat memerintah sebuah negara berpenduduk banyak, ribuan pulau, serta 550 walikota dan gubernur terpilih yang ingin menjalankan kepemimpinan masing-masing.
"Selama enam tahun berada di istana, dia belum bisa beranjak ke level strategis. Dia lebih sebagai seorang walikota di istana presiden," kata Ben Bland kepada ABC Indonesia.
Ben mengatakan masih ada harapan untuk melihat kepemimpinannya berlanjut di Indonesia hingga 2024 mendatang. Namun demikian, harus diakui banyak pendukungnya telah kecewa.
Ben yang telah 20 tahun tertarik dengan Indonesia juga menjelaskan kepada ABC Indonesia soal buku terbarunya berjudul 'Man of Contradictions - Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia.
Di dalam buku itu dia membahas sejumlah kontradiksi bukan sekedar pada sosok dan kepemimpinan seseorang, tapi mencakup hal yang lebih luas.
Dalam bukunya Ben menyebutkan "setelah mengamati dari dekat, terlihat bahwa semakin lama Jokowi berada di istana [sebagai presiden], maka semakin pudar pula janji-janjinya."
Begitu memasuki periode kedua, sosok yang sebelumnya menawarkan diri bukan bagian dari elit politik, telah berubah menjadi elit yang membangun dinasti politiknya sendiri.
"Sosok yang pernah dipuja karena reputasinya yang bersih, malah telah memperlemah lembaga pemberantasan korupsi, memicu aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar," tulis Ben.
Kelemahan kepemimpinan Jokowi terlihat dalam krisis Covid-19. Pemerintahan yang dia bentuk menunjukan jejak-jejak buruk, seperti tidak menghargai pendapat pakar kesehatan, tidak mempercayai gerakan masyarakat sipil, dan gagal membangun strategi terpadu. Meski demikian Ben mengatakan sosok Jokowi masih tetap populer di tengah pandemi.
Dalam enam bab buku setebal 180 halaman karyanya, Ben memaparkan bagaimana "seorang pembuat mebel" berhasil menangkap imajinasi bangsa Indonesia tentang sosok pemimpin yang diidam-idamkan, tapi juga penuh kontradiksi.
“Kontradiksi tidak sepenuhnya konsep yang negatif, tapi menyiratkan Jokowi sedang bertarung untuk mendamaikan banyak persoalan," ujar Ben.
Ben menjabarkan bagaimana Jokowi mengejar mimpi-mimpi ekonomi, memposisikan dirinya di tengah pergulatan demokrasi dan otoritarianisme, serta di panggung internasional.
Dia mengatakan Jokowi telah mencapai sejumlah pencapaian, kebanyakan di bidang infrastruktur dan kebijakan lain yang terfokus pada ekonomi. Ben mengakui jika sosok Jokowi adalah pemimpin yang populer, kembali terpilih dengan suara mayoritas yang naik serta memiliki banyak modal politik.
"Pertanyaan saya adalah bagaimana ia memanfaatkan itu? Ia terus mengatakan ingin mendorong Indonesia melewati reformasi, tapi sejauh ini ia sangat berhati-hati," ujarnya kepada ABC Indonesia.
Ben mengaku tertarik mengamati Jokowi sejak 8 tahun lalu. Sosok ini muncul di tengah ketertarikannya terhadap Indonesia.
Ben mengakui karyanya ini bukan biografi dalam bentuk konvensional, tapi dia juga tak bisa menguraikan seluruh aspek kehidupan Jokowi.
"Saya hanya ingin memanfaatkan kisah pembuat mebel dari kota kecil yang menjadi pemimpin dunia untuk mengangkat cerita tentang Indonesia," jelasnya.
Menurutnya, hanya dengan memahami kontradiksi-kontradiksi Jokowi, maka orang-orang bisa memahami sepenuhnya arah Jokowi dan negara yang dipimpinnya.