Bisnis.com, JAKARTA — Para pemimpin perusahaan teknologi raksasa AS harus bersiap dicecar oleh Kongres AS dalam pertemuan pekan depan, terkait dugaan persaingan usaha tidak sehat.
Jeff Bezos dari Amazon, Mark Zuckerberg dari Facebook, Sundar Pichai dari Google, dan Tim Cook dari Apple akan bertemu dengan perwakilan Kongres AS pada Rabu (29/7/2020). Rapat tersebut bakal diselenggarakan via daring.
"Mengingat pentingnya peran yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan ini bagi warga AS, sangat penting bahwa para CEO ini jujur," papar Jerrold Nadler dan David Cicilline dari panel persaingan usaha Kongres AS seperti dilaporkan Bloomberg, Minggu (26/7).
Keempat perusahaan itu seluruhnya menghadapi dugaan persaingan usaha tidak sehat dari Pemerintah AS. Selama setahun terakhir, DPR AS pun tengah menggelar penyelidikan terkait hal ini, yang mana kemungkinan besar hasilnya adalah rekomendasi untuk mengubah UU Persaingan Usaha.
Dalam pertemuan ini, Amazon kemungkinan menghadapi pertanyaan terkait penggunaan data penjual pihak ketiga di situs tersebut sebagai pembanding untuk meluncurkan produk serupa. Bezos juga tampaknya mesti menjelaskan tentang seberapa besar dominasi e-commerce itu di sektor ritel Negeri Paman Sam.
Adapun Zuckerberg kemungkinan akan menghadapi serangkaian pertanyaan dari Partai Demokrat mengenai keengganan Facebook melakukan pengecekan iklan politik demi mempertahankan prinsip kebebasan berpendapat. Media sosial itu belakangan menjadi sorotan karena para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Partai Demokrat menilai kebijakan Facebook adalah bagian dari keinginan Zuckerberg untuk mendapat keuntungan dari konten rasis dan diskriminatif.
Sementara itu, Google tengah mengadapi ancaman gugatan persaingan usaha tidak sehat dari Departemen Kehakiman AS.
Di sisi lain, anggota Kongres AS Jim Jordan dari Partai Republik ingin mengundang CEO Twitter Jack Dorsey dalam pertemuan ini. Hal ini diduga dilatarbelakangi keinginan Jordan untuk mengetahui lebih dalam tentang kebijakan media sosial itu dalam hal bias di isu konservatif.
Seperti diketahui, Twitter seringkali melakukan pengecekan ulang terhadap cuitan Presiden AS Donald Trump dan pendukung Partai Republik. Kebijakan tersebut membuat Trump meradang dan menuding Twitter anti kemerdekaan berpendapat dan bias.